Saat aku menjadi seorang TKW, suami dan Sahabatku bermain api di belakangku, mereka diam-diam menikah. Parahnya lagi, mereka berlaku jahat pada putriku. Oke tak masalah, aku akan membuat perhitungan dengan kalian. Satu lagi, mereka pasti melongo karena saat ini mantan majikanku melamarku!
Lihat lebih banyak"Tentu."Dengan cepat aku langsung memberikan jawaban, karena penawaran itu begitu menguntungkan bagiku. Seperti mendapatkan durian runtuh.Hanya saja, jangan sampai Mas Asep tahu tentang hal ini."Tentu?" Ryan malah balik bertanya dengan menautkan kedua alisnya yang tebal. Dengan cara bicaranya yang kadang terlihat lucu.Aku mengangguk. "Iya, saya mau berkerja sama dengan Anda untuk proyek ini." "Oke." Kali ini Ryan tersenyum sembari mengangguk. Sepertinya dia baru mengerti apa yang aku katakan.Sebenarnya aku masih tidak menyangka jika Ryan akan menawarkan kerja sama seperti ini padaku. Tidak sama sekali. Dulu ketika bercerita, aku pikir hanya ingin sharing saja sih. Apa mungkin ini jawaban dari Tuhan? Ketika mengetahui kecurangan yang dibuat oleh Mas Asep dan Eka, aku berpikir untuk membuat sebuah usaha. Yang nantinya akan dikembangkan, berharap bisa menjadi penopang hidup aku dan Ais.Bingung memilih usaha apa yang nantinya akan dibuat, dengan budget yang tersedia. Kebetulan ket
"Kamu sendiri?" Pertanyaan dari Ryan itu sontak membuyarkan lamunanku. Menganggukan kepala dan menyuguhkan senyum manis. "Tadi baru saja mengantarkan Ais sekolah."Ryan ganti yang menganggukan kepalanya saat ini. Sampai detik ini, pikiranku masih belum sampai. Bagaimana dia bisa tahu aku disini? Apa memang dia begitu berkuasa?Mau bertanya lebih lanjut lagi, rasanya tak sopan.Mataku sesaat menyapu sekitar rumah makan ini, beberapa pengunjung lain, yang entah kenapa siang ini lebih banyak dari kaum hawa.Keberadaan Ryan yang begitu mencolok di tempat ini, benar benar membuat mereka sering kali mencuri pandang.Usia Ryan hampir sama denganku, tetapi memang menurut mamanya, masih belum ingin berkeluarga. Masih fokus pada bisnisnya yang memang sedang berkembang pesat.Hampir tiga tahun bekerja di rumahnya, aku malah tak pernah melihat dia membawa pulang seorang wanita. Apa jangan jangan dia punya kelainan?Aduh, kenapa aku malah berpikiran yang tidak tidak sih? Itu kan bukan urusa
'Lihat saja, Mas. Akan kuberikan kalian pelajaran berharga, yang tak bisa kalian lupakan sampai kapan pun!' Ngobrol dengan Mbak Ira tadi, tak terasa aku telah menghabiskan segelas teh hangat. Segera aku pun akan kembali memesan minuman, dengan tergesa menuju ke meja kasih. "Aduh, maaf!" Karena tak melihat jalan, akhirnya aku menabrak seseorang. "Hati-hati." Suara bariton dengan logat khas itu, sungguh aku sangat mengenalnya. "Mr. Tian?" ucapku sontak. Pria berhidung mancung itu membuka matanya lebar karena terkejut, alisnya terangkat tinggi. Mulutnya sedikit terbuka, seperti ingin mengucapkan sesuatu namun terdiam karena kaget. Pipi dan wajahnya sedikit memerah, menunjukkan rasa canggung dan bingung. Tak salah lagi, dia adalah putra majikanku, yang kini diam mematung sambil menatapku lekat. "Mr Tian?" Kata itu kembali terucap dari bibirku. Sesaat kemudian Tian tersenyum tipis dan mengangguk. Entah kebetulan macam apa lagi yang akan kudapatkan hari ini. Bukankah tadi dia
Tiba tiba saja, rasanya ada seseorang yang menepuk bahuku dari belakang. "Nisa kan?" Sontak saja aku kaget mendengar suara seorang perempuan itu. Menoleh ke belakang. Seorang wanita dengan rambut di cat merah dan tubuh sedikit tambun, sedang tersenyum padaku. "Mbak Ira, ya?" tanyaku setelah sepersekian detik mengingat. "Ya ampun, panglig aku Mbak." Kupersilahkan wanita yang sepantaran denganku itu untuk duduk. Tepat di sampingku. "Ya ampun Nisa. Kamu makin cantik dan bersih loh, aku juga pangling banget," ucap Mbak Ira sambil membenarkan posisi duduknya. "Kapan kamu pulangnya?" Mbak Ira ini adalah tetangga dari ibu mertua, sekaligus teman sekolah Mas Asep. Ternyata katanya, sejak beberapa menit yang lalu dia sudah memperhatikan aku. Maklum lama sekali tak pernah ketemu. Dulu aku selalu berbincang dengannya saat ke rumah mertua. Orang baik dan ramah. Banyak hal yang kami bicarakan tentang kepulanganku dan juga tentang kondisinya saat ini, yang ternyata baru saja keguguran anak
"Terdengar bagus sih rencana kamu itu, Mas. Tapi maaf, baru saja tadi uang dalam Atm Itu aku ambil. Dan, langsung aku masukkan deposito. Baru bisa diambil tiga tahun lagi. Maaf banget ya, Mas." Diam sesaat. Kubayangkan, saat ini Mas Asep pasti sedang melongo kaget, atau bisa juga saat ini dia sedang ngamuk. Terserah. "Mas, kamu masih disana?" tanyaku sambil menahan tawa. Tadi dia bilang sedang ada di toilet. Kenapa rasanya aku tak yakin ya? Sepertinya nanti juga aku harus mengecek cctv di rumah. Para pembohong itu, rasanya untuk saat ini sangat tidak bisa dipercaya. "Masih, Dek. Kenapa uangnya malah kamu depositokan?" Mas Asep masih terus mengejar. "Bukankah lebih enak dijadikan modal usaha? uangnya bisa bertambah banyak, tiga tahun lagi, bahkan uang itu bisa jadi seratus kali lipat loh. Kalau masukin di bank. Bunganya itu dikit." Mas Asep berkata panjang lebar, berusaha untuk mempengaruhiku. "Biar dikit asli aman," jawabku sedikit ketus. "Aku sih trauma aja, Mas. Dari pada ua
"Nggak- nggak kok." Kali ini dia menjawabnya dengan begitu cepat. Mendengus kasar, menunggu kebohongan apa lagi yang akan dia buat. "Lalu?" "Aku, ingin berterus terang." What? Berterus terang? Aku yang tadi sempat malas menerima telepon Mas Asep, kini mulai bersemangat. Pengakuan apa yang kira kira akan dia buat? Setelah sejak pagi tak menyapaku sama sekali. Aku tahu dia mendiamkanku karena ATM nya telah kuambil semalam. Terserah saja mau ngambek sampai kapan. Aku tidak peduli, eh tiba tiba saja tidak ada angin tidak ada hujan, dia malah menelepon. "Tentang apa, Mas?" Datar, aku sengaja memamg bertanya dengan nada datar. Padahal sebenarnya aku sangat penasaran sekali. "Emmm ... Aku sebenarnya." Kembali dia menjeda ucapannya dan diam. Hanya membuat penasaran saja. "Kamu nggak kerja, Mas?" tanyaku Yang kembali sedikit kesal sembari menatap jam tangan. "Kerja, Dek. Ini Mas lagi ada di toilet." Di toilet? Ya ampun, aneh sekali pria yang satu ini. "Ya sudah sekarang cepat ngom
[Nisa, aku di sini. Kerja sama yang kubicarakan, apakah bisa?]Kulebarkan mata demi membaca pesan di aplikasi hijau tersebut. Terutama pada nama kontak pengirim pesannya, sembari menghapus lelehan air mata di pipi.Saat aku masih belum percaya, sebuah pesan kembali masuk.[Aku sudah ada disini sekarang.]Pesan itu disertai dengan sebuah foto. Seorang bule ganteng keturunan China dan Belanda berusia 30 tahunan berdiri di Bandara Juanda, Aku masih hafal sekali dengan tempat itu. Karena beberapa hari yang lalu, aku sempat beristirahat sejenak disana, sebelum akhirnya menaiki taksi menuju ke kampung halaman.Mr. Sebastian Lei. Tak salah lagi, beliau adalah anak dari majikanku saat berada di luar negeri dulu. Tepatnya cucu tunggal dari nenek yang aku rawat selama ini. Wajahnya menampilkan perpaduan sempurna dari kedua keturunannya, ayah China dan ibu Belanda, dengan struktur tulang yang tegas dan rahang yang kuat khas Eropa, serta mata sedikit sipit dengan kelopak mata ganda yang me
"Sayang, kemarin Tante Eka nyakitin kamu lagi ya?" Sebelum berangkat sekolah, kali ini aku menanyakan pada Ais. Kemarin dia mendapatkan beberapa toyoran dan juga satu cubitan dari Eka, tak lupa ancaman yang pasti membuat mental anak sekecil ini menjadi down. Pantaslah kemarin sore itu, wajahnya sedikit murung dan banyak diam. Bodohnya aku yang tak menyadari perubahan sikapnya itu. Ais diam dan menggelengkan kepalanya. Wajahnya kembali tampak sendu. "Sayang, ngomong sama ibu ya. Jangan semua dipendam sendiri. Ais sekarang nggak sendiri lagi kok. Sudah ada ibu, nggak boleh takut lagi ya." Kukecup kening Ais dalam, kemudian kupeluk erat. Setelah apa yang dia alami beberapa tahun terakhir ini, memang akan begitu sulit untuk menanamkan rasa percaya diri itu lagi. Tetapi aku yakin pasti bisa mengubahnya sedikit demi sedikit. "Apa pun yang terjadi, Ais harus bilang sama ibu ya." Sepersekian detik kemudian, Ais mulai menceritakan apa yang kemarin sore dia alami. Sama persis seperti yan
"Gampang itu, deh. Aku nggak akan menghabiskan uangnya kok. Hak kamu akan aku beri tiap gajian Mas. Karena aku bukan orang yang curang." Kutekankan sekali kata yang paling akhir itu, supaya dia merasa seperti apa yang aku rasakan saat ini. "T-tapi, Dek ----" Dia masih berusaha, tetapi aku pun segera memotong ucapannya. "Sudahlah Mas, pokoknya uang kamu akan aman di tanganku. Dan lagi, katanya kamu menyimpan uang yang kukirim selama ini ke ATM itu kan? Berarti itu milikku kan? Hakku." Aku masih terus saja bersikeras, nyatanya dia tidak main kasar, malah sepertinya merendah. Entah kenapa dia bisa berubah seperti ini, apa mungkin karena takut semua kebohongannya akan terbongkar? Terserah, toh aku sudah tahu semuanya. "Tapi, semua uangku juga ada disana, Dek. Bagaimana jika nanti aku perlu sesuatu yang mendadak di jalan?" Ada saja yang dia jadikan alasan agar bisa mendapatkan kartu itu, untungnya dia tak berusaha untuk merebut. Karena aku yakin jika dia melakukan hal itu. Pasti aku
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.