"Jangan keras kepala." Dante menyeret Lizzy, lalu mendorongnya naik ke atas motor. Dia pun ikut naik, dan menarik kedua lengan Lizzy agar melingkari pinggangnya. Dante memacu kendaraannya dengan kecepatan tinggi, membuat dia berhadapan dengan angin malam yang dingin. Motornya meliuk-liuk di jalan raya, melewati jalanan yang sepi. Lizzy semakin mempererat pelukannya di pinggang Dante. Kepalanya bersandar di punggung laki-laki itu. Lalu air matanya perlahan menetes membasahi jaket Dante. Dia tidak bisa menggambarkan perasaannya saat ini. Sedih, haru, bahagia bercampur jadi satu. Motor Dante berhenti di depan rumah Lizzy lima belas menit berselang. Lizzy tidak segera turun. Dia masih ingin memeluk dan bersandar di punggung Dante. "Ijinkan aku memelukmu sebentar saja," gumam Lizzy. Berada dalam posisi seperti ini, membuat dia merasa nyaman dan seluruh ketegangannya luruh entah ke mana. Dante membiarkan Lizzy melakukan keinginannya. Dia memilih tetap diam, menunggu Lizzy menumpahk
"Apakah ini benar makam nenekku?'Luca menunjuk sebuah makam pada si penjaga makam yang mengangtarnya ke sana. Laki-laki tua yang rambutnya telah beruban semua itu mengangguk pelan. Luca berdiri terpaku menatap batu nisan yang bertuliskan nama neneknya yang telah memudar."Alesandra Masimo. Apa kalian pernah bertemu sebelumnya?" tanya Luca penasaran. Menurutnya, mungkin dia bisa memperoleh banyak informasi terkait neneknya atau keluarganya."Tidak .... Aku hanya melihatnya saat dia dimakamkan. Kenapa kau bertanya?""Aku hanya ingin tahu, mungkin kau mengenal keluarganya atau siapa pun itu yang berhubungan dengannya," balas Luca dengan sorot mata yang penuh harap.Dua hari kemudian Luca menyusuri jalan sempit sambil membaca alamat yang tertulis di secarik kertas pemberian penjaga tadi. Si penjaga berkata hanya alamat itu yang masih dia ingat hingga sekarang. Selebihnya dia tidak tahu apa-apa.Rumah-rumah berjejer rapat dengan cat berwana gading menarik perhatian Luca. Melihat itu, memb
"Kenapa kau datang ke sini?"Dante datang ke rumah Lizzy beberapa hari setelah kejadian malam itu. Tapi saat sampai di sini, dia mendapat sambutan yang kurang menyenangkan. Wajah Lizzy terlipat, dan dia terlihat tidak senang dengan kehadiran Dante."Aku hanya ingin tahu keadaanmu. Kau tidak pernah menghubungiku sejak kita bertemu terakhir kalinya pada malam itu." Dante mengamati Lizzy lebih dalam. Wajah wanita terlihat sangat pucat, dan bibirnya sedikit membiru.Bibir Lizzy menyunggingkan senyum sinis. Lizzy menarik napas panjang, lalu menghembuskannya pelan. Lalu dia menggeleng cepat. "Kau bersikap seolah sangat peduli padaku. Aku hampir tidak mengenalimu," sindir Lizzy pedas. Mendengar ucapan Lizzy yang kurang menyenangkan, membuat Dante menghela napas panjang. Siapa yang menyangka Lizzy akan menanggapi kadatangannya dengan sikap sinis dan dingin? Dia hanya ingin mengetahui keadaan Lizzy setelah mereka tidak bertemu cukup sekian lama. "Dengar.... Sangat mengherankan melihat sikapm
"Berhenti di sini." Dante meminta sopirnya untuk menghentikan mobilnya di pinggir jalan. Dia dalam perjalanan menuju kantornya saat matanya tanpa sengaja menangkap sekelebat bayangan yang menarik perhatiannya. Itu Emily. Tidak salah lagi, itu memang Emily dengan pakaian sederhana dan celemek tengah membersihkan kaca di depan restoran itu. "Sedang apa Emily di sana?" gumam Dante, lebih kepada dirinya sendiri. "Dia bekerja di restoran itu sejak dua bulan lalu," jawab si sopir mengikuti arah pandang Dante. "Dari mana kau tahu itu?" Dante semakin penasaran. "Beberapa kali aku makan di sana bersama seorang kenalan. Tanpa sengaja dia lah yang mengantar makanan pesananku." Dante tidak bertanya lagi. Dia meminta sopirnya untuk melanjutkan perjalanan mereka. Samar-samar bibirnya terbuka sedikit, menyunggingkan senyum tipis sekaligus mengejek. Sama sekali dia tidak menyangka Emily berakhir seperti itu. Seorang model terkenal dalam waktu sekejap berubah menjadi pelayan restoran. "
"Kau bisa meninggalkan kami berdua, Kathryn." Dante menatap lurus pada Kathryn, dan memberi isyarat agar asistennya itu segera pergi dari ruangan ini. Tangannya meraih handuk di gantungan, lalu dia mengeringkan tubuh atasnya yang basah oleh keringat. Sesekali dia melirik ke arah Lizzy yang masih berdiri mematung di depan pintu. Hari ini Lizzy terlihat berbeda dengan penampilannya yang sederhana dan tanpa riasan. Seperti bukan Lizzy yang dia kenal."Ada perlu apa kau mencariku?" tanya Dante tanpa berusaha menatap Lizzy. Dia mengambil kemejanya, dan buru-buru memakainya."Aku ...."Lizzy mengalami kesulitan saat ingin melanjutkan ucapannya. Dia menelan ludahnya yang pahit, dan membasahi tenggorokannya yang kering. Bertemu Dante dalam suasana canggung seperti ini, membuat otaknya sedikit terganggu. Dia tidak mampu berpikir dengan jernih."Ya, kau." Dante menununjuk Lizzy dengan mengangkat dagunya tinggi."Aku membutuhkan bantuanmu," ucap Lizzy disertai dengan helaan napas lega."Bukank
"Tunggulah di sini, dia akan segera menemuimu."Lizzy duduk di sofa di ruang tamu rumah Dante. Pandangan matanya mengarah ke seluruh penjuru ruangan. Melihat dekorasi interior rumah ini, membuat Lizzy menelan ludahnya beberapa kali. Selama ini dia telah salah menilai Dante. Dante bukan seorang pengawal biasa, melainkan seorang pemilik perusahaan fashion terkenal yang mendunia. Betapa bodohnya dirinya."Lizzy ...." Lizzy tersadar dari lamunannya saat mendengar Dante menyebut namanya dengan nada malas-malasan. Dia memandang nanar pada sosok laki-laki asing yang tidak pernah dia jumpai. Lizzy langsung memutar kepalanya, memandang ke arah lain."Kenapa kau berkeras menemuiku?"Dante berdiri tepat di depan Lizzy. Tubuhnya menjulang tinggi, dan menatap angkuh pada wanita itu. Lalu dia duduk di sofa di samping Lizzy.Kepala Lizzy terasa berputuar-putar. Matanya berkunang-kunang. Dia harus mengerjapkan matanya beberapa kali agar bisa melihat Dante dengan jelas."Aku mem-butuhkan bantuanmu."
"Aku tidak ingin terlibat lebih dalam dengan masalah orang lain." Dante menggoyang-goyangkan gelasnya yang berisi wine berwarna kuning keemasan dengan santai. Matanya menatap Lizzy dari balik bibir gelas. Wanita itu terlihat kecewa atas penolakannya. "Tapi, bukankah kau sebelumnya juga terlibat dalam masalahku? Tidak hanya satu kali, bahkan lebih dari itu," kilah Lizzy. Lizzy memberanikan diri membalas tatapan Dante yang sinis, lalu dia memutar kepalanya, tidak sanggup bersiatatap dengan Dante dalam waktu yang lama.Malas-malasan Dante meletakkan gelasnya yang telah kosong di atas meja. Mata cerahnya memperhatikan wajah Lizzy, lalu berhenti di dada wanita itu dalam hitungan detik. Setelah itu dia kembali memandang wajah Lizzy yang tidak lagi pucat."Tentunya ada harga yang harus aku bayar untuk terlibat dalam masalahmu. Dan pastinya itu sangat mahal," ucap Dante terus terang."Apa maksudmu sebenarnya?""Bayangkan saja, selama ini aku tidak pernah memiliki musuh. Bila aku membantumu,
Satu jam yang lalu. Dante baru saja keluar dari sebuah restoran setelah melakukan pertemuan dengan salah satu investor perusahaannya. Saat hendak masuk ke dalam mobilnya yang terparkir di pinggir jalan, tanpa sengaja dia melihat Emily lagi. Jarak mereka sekitar sepuluh meter, jadi cukup jelas saat mendengar pertengkaran Emily dengan seorang wanita tua. "Aku yang menghentikan taksi ini lebih dulu," ucap Emily kasar dengan raut wajah bersungut-sungut. Dia mendorong tubuh wanita renta itu dan hampir terjatuh ke tanah. Wanita tua itu meringis kesakitan, lalu memilih untuk mengalah karena tubuhnya sangat lemah dan tidak mampu melawan. Dia hanya bisa menatap nanar pada taksi itu yang berjalan meninggalkannya. Sambil menelan kekecewaannya dia berjalan tertatih menyusuri trotoar dengan punggung yang bungkuk. Dante sempat tersentuh dan merasa kasihan pada wanita itu. Tapi dia tidak bisa menolongnya karena dirinya masih memiliki urusan lain yang lebih penting. Dalam gerakan cepaat, Dant