Share

Jadi Ini Rasanya Dibully

Setibanya di sekolah, aku segera turun dari mobil Dokter Aldo. Aku sempat tersenyum padanya. Tapi dia tidak membalasnya. 

“Cepat turun. Aku bisa terlambat ke rumah sakit,” kata dokter itu dingin.

Aku berlari kecil menuju pintu masuk gedung sekolah. Terselip malu dalam hatiku mendapati sikap dingin Dokter Aldo. Riuh suara para murid sesaat mengalihkan perhatianku. Di antara ratusan murid yang ada di sekolah ini aku adalah murid yang berada di level B dalam semua hal. Beberapa murid terkenal karena kecantikannya. Beberapa murid lainnya memiliki otak encer sehingga berkali-kali menang dalam lomba di luar sekolah. Ada juga yang terkenal karena kekayaan orang tuanya. Tapi aku tidak masuk dalam kelompok manapun.

"Woi!" kata Wini yang menghadang langkahku di selasar. "Lu yang bikin Gita meninggal 'kan?" 

Matanya melotot garang. Seharusnya orang kalau marah mukanya akan menjadi jelek. Tapi Wini beda. Dia tetap terlihat cantik. 

Aku memberanikan diri untuk mulai menjelaskan situasinya. "Gue nggak bikin Gita meninggal," bantahku cepat. "Dia meninggal karena kondisinya memang udah parah."

"Alasan!" Potong Wini lalu melemparkan air dari botol minumnya. Percikan airnya cukup banyak untuk membasahi kemeja seragamku. Tanpa meminta maaf Wini membalikan tubuhnya, kembali ke dalam kelas.

Untuk sesaat aku terdiam. Air yang merembes dari bajuku terasa dingin menyentuh kulit.

Sepanjang hari itu di sekolah tidak satu pun teman sekolah yang menyapa menanyakan kabarku. Malah sebagian dari mereka mencibir dan bergosip tentang aku. Seakan aku bersuka cita dengan musibah yang Gita alami. 

Hariku di sekolah berjalan buruk. Aku merasa semua teman memusuhiku. Sepanjang hari aku memikirkan bagaimana aku menjalani hari-hariku berikutnya di sekolah. Hingga malam tiba, suasana hatiku masih kacau.

Ketika makan malam, aku duduk semeja dengan Bu Asih dan Dokter Aldo. Makan malam kami berlangsung sunyi. Bu Asih adalah orang yang memegang prinsip tidak boleh ada percakapan saat makan. Namun sepertinya Dokter Aldo tidak sependapat. Disela-sela suapannya dia menatapku. Sepertinya dia bisa membaca air wajahku.

"Kamu kenapa?" tanya si Dokter. "Dari tadi tatapan matamu kosong."

Aku menunduk menatap piringku yang masih penuh dengan nasi. "Nggak apa-apa," jawabku lemah.

Seperti bisa membaca situasi, Dokter Aldo kemudian bungkam. Hanya sesekali dia melirik padaku. Tapi dia tidak menyerah. Saat aku mencuci piring di sink dapur, dia kembali menghampiriku.

"Kamu baik-baik aja 'kan?" tanya Dokter Aldo sambil membilas piring dari busa sabun.

Pertanyaan itu membuat pertahananku runtuh. Aku langsung menangis tersedu-sedu dengan bahu terguncang.

Melihat reaksiku yang tidak terduga, Dokter Aldo membilas tangannya, meraih bahuku dengan lembut dan mengusap kepalaku yang menempel di dadanya. Telingaku bisa mendengar suara detak jantung dokter itu. 

"Mereka semua membenciku," ucapku sambil menangis. "Nggak ada yang mau berteman denganku. Semuanya hanya bergosip dan menerka-nerka kejadian saat Gita kritis. Tapi nggak ada yang nanya langsung denganku. Mereka semua sok tahu."

Dokter Aldo tidak mengucapkan kalimat apa pun. Dia hanya mengusap-usap punggungku. "Beri mereka waktu," bisiknya lembut. "Besok, lusa, dan seiring waktu kamu bisa menjelaskan pada mereka kejadian yang sebenarnya. Tapi untuk sekarang mereka sama sedihnya dengan kamu."

Aku nyaris tidak percaya dengan ucapannya itu. Semula aku mengira Dokter Aldo akan bicara dengan kalimat klise, seperti memintaku bersabar atau berdoa. Tapi ternyata secara tersirat dia memintaku untuk memahami situasinya secara umum. Dan itu membawa ketenangan dalam hatiku. 

Keesokan harinya, aku dan Dokter Aldo kembali berangkat bersama. Tapi kali itu dia memberiku sekotak susu UHT. Pada bagian depan kotak susu itu ada secarik Post It kecil.

Nanti malam kita makan di Fun and Food. Tulisnya. 

Aku tersenyum senang. Tentu saja aku mau diajak makan malam ke sana. Fun and Food adalah cafe baru yang menyediakan pizza dan es krim. Dan aku belum pernah makan pizza.

"Terima kasih," ucapku tulus.

"Untuk apa?"

"Untuk semuanya."

Dokter itu tersenyum sambil menatapku. Oke, dia memang tidak seganteng aktor sinetron di TV. Tapi entah mengapa bagiku dia punya daya tarik yang luar biasa. Dan setiap kali dia tersenyum perutku terasa seperti diaduk-aduk.

Kok bisa ya? Orang bisa berduka dan jatuh cinta pada saat bersamaan.

Begitu turun dari mobil Dokter Aldo, suasana hatiku menjadi lebih baik. Jauh lebih baik dari pada semalam. Dengan langkah ringan aku berjalan menuju kelasku. Tapi baru saja aku menyimpan tasku, tiba-tiba Bima menghampiriku,

"Marla!" kata Bima dengan nada suara tinggi.

Aku mengadah untuk melihat wajahnya. Tentu saja aku mengenalnya. Dia adalah ketua gank murid jurusan Mesin. Wajahnya galak dan dia gampang marah. Tapi kalau bertemu dengan Gita, nyalinya langsung ciut. Semua murid tahu Bima naksir Gita habis-habisan.

"Lu yang membuat Gita meninggal 'kan?" tanya Bima. "Mestinya lu yang mati. Anak yatim piatu kayak lu nggak bakal ada yang sedih kalau lu mampus."

"Bukan! Nggak gitu ceritanya," sanggahku panik.

Kemudian teman-teman sekelas Bima muncul. Mereka ada tiga orang. Semua menatapku dengan mata galak. Lalu dalam hitungan detik, mereka menarik paksa tubuhku. Aku diseret keluar kelas. Jeritan minta tolong dari mulutku kalah oleh keriuhan murid-murid yang lain. Aku jadi tontonan. Seseorang bahkan dengan sengaja menuangkan air es teh manis ke atas kepalaku. Rasa dingin merambat di sela rambutku.

Aku diseret sampai toilet wanita. Di toilet itu terdapat empat bilik. Tubuhku didorong paksa masuk ke bilik keempat yang berada di bagian paling ujung. 

Klik. Klik.

Begitu aku masuk ke dalam bilik toilet, aku mendengar anak kunci diputar dua kali. Aku dikuncikan dalam ruangan itu. Basah, dingin, dan lembab. 

"Toliet rusak!" teriak seseorang di luar bilik. Dari suaranya aku yakin itu suara Wini. "Lubangnya mampet."

Ucapan Wini berhasil membuat semua murid menjauh. Dalam keadaan normal saja murid-murid cewek selama ini enggan mendekati bilik terakhir. 

Suasana berangsur hening. Pelajaran pasti sudah dimulai. Tubuhku gemetar ketakutan. Aku menangis dan berteriak minta tolong. Tapi yang kudengar hanya pantulan suaraku sendiri. 

Mati. Aku pasti pelan-pelan akan mati dalam bilik toilet ini. Aku yakin pasti. Pernah aku mendengar tentang korban bullying di sekolah yang disekap berhari-hari oleh teman sekolahnya. Hingga kemudian dia ditemukan meninggal dunia pada hari ketujuh setelah dinyatakan hilang.

******

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status