Share

Maju Lusa, Indisipliner

Wendy dan Yo-han kembali ke meja dengan membawa dua nampan berisi makanan pesanan mereka di kafetaria. Tiga sekawan itu memutuskan untuk makan siang bersama setelah kelas pertama selesai jam setengah dua belas siang.

“Ini namanya apa, Wendy? Aku lupa.”

“Oh, ini? Oseng mercon. Pedas loh, Han. Kamu yakin kuat makannya?”

“Aku akan mencobanya. Jika tidak habis, ada Irene yang mau menghabiskannya karena dia bermulut pedas.” Yo-han menaik turunkan kedua alisnya menggoda Irene. Sedari tadi ia terus berbicara dengan bahasa Indonesia baku berlogat Korea.

“Kamu nggak akan pindah kelompok, ‘kan, Rene? Kita udah klop banget sama Ko Deri juga,” tanya Wendy memastikan.

Irene menghela, menarik piring berisi oseng mercon sapi milik Yo-han alih-alih soto lamongan pesanannya sendiri. “Prof. Christian itu kenapa, sih?” tanyanya, mengalihkan topik pembicaraan.

“Kenapa gimana?”

“Aneh.”

Yo-han memetik jarinya keras-keras, heboh sendiri sembari menahan pedasnya sesendok oseng urat sapi dengan puluhan butir cabai masak bak mercon itu. “Dari mana dia bisa tahu nama kamu, Rene? Aku perhatikan dia tidak memegang daftar nama mahasiswa sejak masuk. Membuka laptop pun tidak.”

Irene menggeleng, bukan hanya perkara nama yang membuatnya berpikir bahwa Christian itu aneh. Ada hal lain yang ingin Irene jelaskan, tentang hal yang berkaitan dengan energi yang ia rasakan dari Christian sepanjang kelas tadi. Tidak jauh berbeda dengan Januar, energi Christian juga tidak biasa. Irene bahkan tidak bisa menjelaskan seperti apa energi Christian dalam empat wujud yang biasa digunakannya sebagai analogi.

Namun, Irene mengurungkan niatnya bercerita. Ia enggan membuat Wendy dan Yo-han menganggapnya mistis. Siapa juga yang peduli dengan energi metafisik di masa serba maju seperti sekarang ini?

“Dia udah penasaran dan cari tau soal kamu kali, Rene,” ledek Wendy.

“Wow, Irene mau punya pacar, ya? Ada yang menyukai?” tambah Yo-han, membuat Irene geleng-geleng kepala. “Ngawur!”

“Apa, nih? Apa? Siapa yang ngawur, Rene?”

Deri, ia tiba-tiba datang dan duduk di kursi kosong sebelah Irene. “Kita sekelompok, loh. Kenapa tadi enggak briefing dulu? Kelompok lain udah rapat sat set sat set malah.”

“Sat set sat set itu apa?” Yo-han tidak mengerti.

“Sat set sat set is fast and faster, Lee Yo-han. Ngomong-ngomong, salam kenal, gue Deri, biasa dipanggil Ko Deri.”

“Oh, ya. Aku Lee Yo-han. Dari jurusan apa, Ko Deri?”

“Magister Administrasi Bisnis. Lo? Sastra Indonesia, ‘kan?”

“Ya, betul.”

Empat orang itu terus berbincang-bincang sambil menikmati makan siang mereka. Deri yang ahli membuat lawakan, Wendy yang tertawa paling kencang, serta Irene dan Yo-han yang sekedar menyimak garing sembari kepedasan.

Sementara itu, tak jauh dari tempat mereka duduk, ada Januar yang diam-diam memperhatikan. Ia seharusnya bergabung untuk membahas agenda field trip tiga hari mendatang, tapi sayang ia terlalu gengsi. Irene pasti akan mengajaknya ribut jika ia datang, padahal Januar hanya perlu mengatakan bahwa ia sudah berhasil bernegosiasi dengan Christian untuk pindah kelompok.

“Katanya ada aksi mahasiswa di hari peringatan HAM internasional lusa, Rene? Lo pasti ikut, ‘kan?”

“Aksi itu apa, Ko Deri?” Yo-han lagi-lagi penasaran, ia gemar menambahkan kata-kata baru ke dalam glosarium bahasa asingnya.

“Aksi itu demonstrasi, Han. Unjuk rasa. Irene, ‘kan, aktivis kampus.”

“Wah, Irene benar mau ikut?”

“Iya, ikut.”

Januar tak jadi menyuapkan baksonya. Sial, kenapa ia harus mendengar percakapan mereka tentang hal itu? Sudah jelas setelah ini ia akan kepikiran setengah mati. Irene dan aksi selalu membebaninya dengan rasa tanggung jawab yang tak kunjung usai.

“Lokasi utama di mana?”

“Biasa, kantor DPRD. Tadinya gue ke mau ke Jakarta, tapi ternyata nggak bisa,” ujar Irene, membuat Januar semakin intensif menyimak. Januar was-was, mulai berpikir bagaimana caranya agar Irene tidak berangkat mengikuti aksi mahasiwa itu.

“Oh, jadi bener dong kalau lo yang bakal maju jadi koordinator lapang YMU bareng aliansi BEM se-Yogyakarta? Gue denger si Yoga belum keluar dari rumah sakit soalnya. Masih tipes anaknya.”

“Ya, memang gue korlapnya.”

Tanpa pikir panjang lagi, Januar beranjak, menghampiri empat orang yang disadapnya sejak tadi. Ia mengagetkan seisi kafetaria karena tak sengaja menendang kursi yang tadi didudukinya sampai nyaris terguling. Januar yang terlalu spontan itu membuat Wendy, Yo-han, dan Deri menatapnya heran.

“Eh, Bang? Dari mana aja lo? Kebetulan, mending kita rapat masalah field trip sebelum Irene sibuk aksi,” ujar Deri antusias, berbeda sekali dengan Irene yang langsung membuang muka begitu melihat Januar.

“Kayaknya nggak akan sempet rapat, karena jadwal field trip kita maju jadi besok, dan semua briefing dilaksanakan di situs.”

“Hah? Sejak kapan rencananya berubah?” tanya Yo-han protes.

Januar kikuk, pasalnya memang tidak ada pergeseran jadwal apa pun. Itu hanya akal-akalannya agar Irene tidak pergi dan menjadi korlap aksi demo mahasiswa yang diperkirakan akan berskala besar itu.

“Prof. Christian yang bilang, tadi setelah kelas selesai. Beliau juga bilang jangan sampai ada yang absen atau meninggalkan situs saat sudah sampai di sana. Kalau tidak, namanya akan langsung dicoret dari daftar peserta summer class, dianggap melakukan tindakan indisipliner, dan harus mengulang tahun depan karena program ini menjadi syarat kelulusan jenjang sarjana.”

Irene mengerutkan dahinya, baru teringat akan edaran peraturan akademik terbaru kampus. Kalau begini, ia akan sulit kemana-mana, tidak bisa menyelinap bolos.

Melihat reaksi Irene yang demikian, Januar akhirnya bisa sedikit bernafas lega. “Saya harap kita semua serius dan patuh aturan, ya. Tidak ada pergantian anggota kelompok, tidak ada yang main-main. Kalau kalian dicoret dari kelas ini, kalian mungkin nggak akan lulus sarjana tepat waktu.”

“Kalian pastinya nggak mau, ‘kan, jadi sarjana ngaret karena tersandung masalah indisipliner?”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status