Share

Penghormatan Terakhir

“AAA ...!”

Teriakan Jin Hao memenuhi hutan. Bai Jia bingung harus berbuat apa, dia tidak bisa melepaskan pedangnya dari genggaman tangan Jin Hao yang kini mengucurkan darah.

Langit bergemuruh di atas sana membuat Bai Jia semakin panik—“Guru!”

Tidak lama kemudian, sesuatu seperti tengah merasuki Jin Hao. Dia merampas Pedang Surga dari Bai Jia dan menghunuskannya ke perutnya sendiri.

“Guru!”

Bai Jia membeku di tempatnya. Dia syok melihat apa yang terjadi di depan matanya saat ini.

Jin Hao jatuh berlutut di hadapan Bai Jia. Perlahan kesadarannya kembali dan meraih tangan Bai Jia.

“Ba-i Ji-a!”

Jin Hao kesakitan, rasanya seperti terbakar. Namun, dia tidak dapat menarik pedang itu sendiri Pedang tersebut menolaknya.

Bai Jia yang melihat derita sang guru lantas dengan segera menarik pedangnya. Namun, bertepatan dengan itu ....

“GURU!”

Terdengar suara teriakan histeris. Bukan dari Bai Jia ataupun Jin Hao, melainkan dari seorang gadis yang saat ini menghampiri mereka. Yue Er, dia terkejut bahwa apa yang ia takutkan ternyata sungguh terjadi.

TSRING!

Rouku mengeluarkan pedangnya dan mengarahkannya tepat ke leher Bai Jia. “Apa yang kau lakukan pada Guru Hao, Bai Jia? kau ingin membunuhnya?” tanya Rouku dengan sedikit berteriak.

Bai Jia yang masih syok pun berkata, “A-a-ku ... tidak tahu.”

“Brengsek!”

Rouku sudah akan menebas leher Bai Jia, akan tetapi tindakannya segera dicegah oleh Yue Er. “Hentikan! ... Kak Rouku, kita lanjutkan perjalanan ke utara malam ini, Guru Hao membutuhkan pertolongan.”

Mendengar permintaan itu, Rouku mau tidak mau menyimpan kembali pedangnya dan kemudian membantu Yue Er mengangkat Jin Hao. Bai Jia sudah akan bergerak untuk ikut membantu. Namun, niatnya ditolak oleh Yue Er.

“Diam di tempatmu!” perintah Yue Er ke Bai Jia.

“Adik Yue—”

“Aku sangat mempercayaimu, Kak,” kata Yue Er penuh kepiluan, “tapi sepertinya apa yang dikatakan Kak Rouku kini mulai terbukti kebenarannya.”

“Tidak, Yue, tolong dengark—”

“Jangan ikuti kami!” perintah Yue Er, “sampai kamu bisa membuktikan bahwa kamu sama sekali tidak ada hubungan dengan Negeri Diyu, jangan pernah menunjukkan wajahmu dihadapanku, terlebih sebagai bagian dari Perguruan Lotus Putih!”

Putusan final itu berhasil membuat Bai Jia kembali mematung. Dia pandangi tiga punggung yang kini menjauh darinya dan perlahan menghilang dari pandangan.

Di dunia ini, Bai Jia hanya mengenal Lotus Putih. Harus bagaimana dia setelah tidak lagi dengan Lotus Putih? Bai Jia bingung, dia pandangi pedang di tangannya. Darah sang guru masih ada di sana.

“HAAA ...!”—Bai Jia melempar pedangnya hingga tertancap di tanah.

Langit yang sejak tadi hanya bergemuruh kini mulai menurunkan airnya. Bai Jia menjatuhkan diri dan menjadikan lututnya sebagai tumpuan.

“Ah, kenapa hidupku seperti ini?”—Bai Jia mengepalkan kedua tangannya.

-

-

-

Setelah kejadian penusukan Jin Hao, Yue Er dan rombongan Lotus Putih bergegas melanjutkan perjalanan ke utara malam itu juga. Mereka berpacu dengan waktu karena kondisi Jin Hao yang semakin buruk.

Tubuh Jin Hao dingin, mengeras, dan darahnya menghitam. Yue Er tidak mengerti, dia baru kali ini melihat hal seperti itu.

Dia hanya berpikir bahwa mungkin ada racun di pedang Bai Jia. Sungguh sakit hati Yue Er memikirkannya.

“Y-yue—Er!” panggil Jin Hao terbata di sela perjalanan mereka.

“Bertahanlah, Guru! sore nanti kita akan tiba di Mudan. Guru tahu, ‘kan, kalau di Mudan banyak tabib hebat, mereka pasti bisa menyembuhkan Guru. Guru pasti akan baik-baik saja.”

Jin Hao meminta berhenti untuk beristirahat. Pada awalnya Yue Er menolak tapi pada akhirnya dia menuruti permintaan sang guru.

Begitu mereka berhenti, Jin Hao menggenggam erat tangan Yue Er. “Yue—Er, perha—tikan mereka yang mengi—kutimu!” pinta Jin Hao.

Yue Er tidak terlalu paham, akan tetapi dia segera menatap saudara-saudara seperguruannya. Benar, ternyata kondisi mereka tidak lebih baik dari gurunya.

“Oh tidak, apakah aku sudah melakukan kesalahan-kesalahan?” batin Yue Er.

“Yue Er, seorang pemimpin ... harus bisa melihat ... dan memikirkan orang-orangnya. Tekan egomu! itulah yang pernah ketua perguruan ... atau ayahmu katakan padaku ... saat aku memaksa para murid ... untuk berlatih siang malam demi kompetisi di istana.”

“Guru ....”

“Yue—Er, waktuku tidak banyak, sudah saatnya Lotus Putih memiliki seorang pemimpin muda sepertimu.”

“Tidak, bertahanlah sedikit lagi, Guru!”—Yue Er meneteskan air matanya—“Yue Er masih membutuhkan bimbingan dari Guru.”

“Yue—Er, jangan ... membenci ... Bai Jia! dia ....”

Belum selesai Jin Hao berucap, jantungnya sudah berhenti. Jin Hao, dia menghembuskan napas terakhirnya.

“Guru!” panggil Yue Er panik, “tidak, Guru, jangan pergi! Guru ...!”

Perjalanan menuju utara itupun terhenti sementara. Di sebuah bukit di hutan tersebut Yue Er dan para murid Lotus Putih mengadakan upacara penghormatan terakhir untuk Jin Hao.

Kedukaan tiada akhir, mungkin itu yang bisa menggambarkan kondisi Yue Er saat ini. Di usianya yang masih muda, Yue Er harus menjadi seorang ketua perguruan setelah kehilangan banyak orang yang dicintainya dan juga perguruannya.

Tangan Yue Er mengepal kuat—“Bai Jia ... iblis Diyu, Lou Yin,” gumamnya.

-

-

-

Sementara Yue Er dan rombongannya tengah memakamkan Jin Hao, saat ini di tempat lain yang berjarak ratusan mil dari sana, Bai Jia berjalan seorang diri menuju sebuah negeri bernama Wuxia.

Setelah mendengar permintaan Yue Er semalam, Bai Jia mau tidak mau memisahkan diri dari rombongan Lotus Putih. Dia tidak lagi menuju Perguruan Mudan di utara dan tidak juga menuju pusat kota Shengren. Bai Jia, dia memilih untuk ke Wuxia.

Kepergian Bai Jia ke Wuxia bukan tanpa tujuan. Dia membawa pedangnya ke sana dengan tujuan untuk menemui seorang ahli pedang yang terkenal hebat.

Tidak hanya hebat dalam ilmu pedang, seseorang itu juga memiliki pengetahuan yang luas mengenai pedang. Oleh karena pengetahuannya yang luas itulah sang pendekar disebut sebagai dewa pedang maha tahu.

Hanya sayangnya, tidak ada satu pun orang yang tahu dengan pasti di mana dewa pedang maha tahu tinggal. Banyak orang berkata bahwa keberuntungan lah yang akan menentukan bisa atau tidaknya seseorang bertemu dengannya.

Sungguh, Bai Jia sama sekali tidak peduli. Entah dia memiliki keberuntungan atau tidak, dia akan berusaha menemukan dewa pedang maha tahu itu.

“Aku tidak peduli, akan kubuat dia keluar dengan sendirinya untuk menemuiku!” tekat kuat Bai Jia.

-

-

-

Setelah tiga hari berjalan kaki, pada akhirnya Bai Jia sampai di Wuxia, negerinya para pendekar pedang. Di sana ....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status