Di Pelataran langit biru Shin telah mencapai ketinggian 35 killometer. Deru nafasnya terdengar memburu. Tubuhnya masih di lapisi butiran Es. Seiring dengan dentuman batuk yang kian meradang. Daya tahan tubuh Shin semakin parah dan melemah, hingga tulang pipi Shin nampak tercetak jelas di wajahnya. Serta bola mata memerah.
"Shin kau tidak apa-apa?" tanya Jansen khawatir mendengar Shin yang batuk.
"A-air. Aku ingin minum," balas Shin merasakan tenggorokan kering yang teramat sangat haus.
"Sepertinya, dia baru merasakan efek dari menghirup langsung gas ozon (O3) sehingga mengakibatkan rusaknya organ pernafasan," imbuh Helen menyimpulkan sembari menggigit jari. Gadis itu menunjukan kemampuannya sebagai seorang dokter. "Kalo di biarkan begini terus kulitnya akan melepuh."
Lapisan Ozon berada di dalam lapisan stroposfer pada ketinggian 11-40 killometer. di atas permukaan tan
Gery kembali terbang tepat di hadapan Helen. Berdiri dengan wajah datar tanpa Ekspresi. Gery menatap kedua mata Helen. Tak ada kata yang dia ucapkan. Gadis itu membalas dengan tatapan pasrah. Dengan menggunakan kedua telapak tangan, Gery menyentuh kedua pipi Helen. Helen tak mengelak ataupun merasa risih. Sebab Gery sudah biasa melakukan itu, untuk menghibur Helen yang sedang bersedih. "Ada apa paman?" Gery tak menjawab. Akan tetapi mata Gery memancarkan sinar kemerahan. Sontak membuat pancaran mata biru Helen bersinar lebih terang. Seolah pancaran mata Gery menyerap keluar sinar Trilachonaya milik Helen. Helen bertanya-tanya dengan keadaan matanya yang bersinar tak seperti biasa. Padahal ia tak sedang memberikan perintah pada Trilachonaya untuk mengaktifkan fitur lain. Tatapan kosong Gery, yang seperti menjadi orang lain, membuat Helen semakin bingung. Selama ini Gery tak pernah memandangnya seperti itu. Na
Eksoplanet, 1923. "Ar-Arcana. Anakku, maafkan ibu yang tak bisa melindungimu. Ibumu ini terlalu lemah. Padahal aku juga ingin menjadi orang tua yang dapat menimang dan membesarkanmu. Seperti yang di lakukan seorang ibu dari ras manusia. Tapi sayang ibumu ini bukan manusia. Maafkan ibu Arcana, Aku bukan ibu yang baik untuk mu. Aku telah mengambil keputusan yang salah, tapi kau tahu ibu sangat menyayangimu...." Desis seorang ibu dengan suara yang terdengar lemah dan terbata-bata. Meskipun darah terus mengalir keluar dari mulutnya, ia masih berusaha mengucapkan sepatah kata,"Se-pertinya ibu terlalu banyak meminta maaf, mungkin karena ajaran si manusia bodoh itu. Hehehe ... Dia ayahmu, laki-laki bodoh yang sangat mirip denganmu, Arcana. Rambut putih mu itu membuatku sangat merindukan ayahmu. Ibu ingin hidup bersama kalian berdua, tapi ...." Tangisan sesegukan terdengar menyayat di antara senyuman dan kasedihan dari seorang ibu. Penyesalan dan kerinduan memberontak,
Eksoplanet, 1943. 20 tahun kemudian .... Zealandia, merupakan benua yang ada di Eksoplanet. Di huni oleh para ilmuwan pencipta teknologi canggih. Lantaran canggihnya, matahari buatan pun telah di ciptakan. Sehingga tak ada yang bisa membedakan siang ataupun malam di ibukota. Tapi para ilmuwan itu juga manusia biasa. Tak akan pernah merasa puas selama mereka belum mati. Eksperimen di luar nalar akan terus di lakukan. Tentu, hanya untuk membuktikan siapa yang terhebat. Salah satu ilmuwan itu adalah Shin. Pemuda yang kurang tampan bersetelan jubah putih. Perkiraan tinggi sekitar 170 senti meter. Berkornea warna biru, dan berpupil warna hitam. Mata unik tersebut sangat di kenal di penjuru Eksoplanet sebagai ciri khas yang hanya di miliki punduduk Zealandia. Shin bersama dua orang temannya berada di puncak gunung Rahtawu. Gunung tandus yang terbelah menjadi dua. Tempat yang sangat cocok untuk menguji alat tekno
"Bagaimana cara menggerakkannya?" tanya Jansen dengan keingintahuan yang tinggi. "Teknologi." Shin berucap dengan suara tegas. Shin mengangkat lengannya, dengan telapak tangan yang terbuka. "Dengan sayap ini, akan ku bersihkan darah yang menodai hamparan tanah di Eksoplanet." lanjut Shin mengepal tangan. Seolah dia sedang menggenggam dunia. Bayangan dunia sekarang ada dalam genggamannya. Keseriusan nampak dari wajahnya. Mulutnya mengatup hingga tercetak senyum percaya diri. Seiring dengan pandangannya yang penuh tekad masih memandang jauh nan lurus. Kemudian tabung yang ada di dalam ransel Shin bergerak naik turun. Layaknya, mesin pompa, yang menghasilkan daya dorong angin kearah bawah. Seiring dengan kedua sayap yang terus mengepak. Helen menggigit jari. Terlihat dia berfikir. Sebelum menjelaskan, "Jadi begitu. Piston di manfaatkan untuk mengisap campuran udara ke dalam ruang bakar hingga terjadi pergerakan," T
"Hallo! Aku manusia." Shin menyapa makhluk yang pertama kali dia temui. Sangat ramah. Nampak dari senyum yang mengembang. Seperti seorang yang baru mendapatkan kenalan baru. Burung-burung bangau itu berhamburan. Mungkin terkejut melihat manusia memiliki sayap. Shin berniat menangkap dengan kedua tangannya. Ironisnya, salah satu burung bangau tersebut melompat, dan mencakar wajah Shin. Mengibaskan sayapnya secara kasar lalu burung bangau itu kabur. Wajah Shin seperti tertampar. Shin meringis. Merasakan perihnya luka cakaran yang terkena embusan angin.Bodoh!Dengan ekspresi muram dan lesu. Shin meneruskan perjalanan. Hingga menabrak sekumpulan kabut yang banyak mengandung embun air. Tubuh Shin gemetar. Shin menyentuh dan merasakan kelembutan gumpalan putih bagai salju di telapak tangannya."Jadi ini awan. Begitu dingin dan sejuk."Shin bermain-main seperti anak kecil. Meniup-niup dan mendekap. Awan meleleh membasahi sekujur tubuh. Hal s
Helen dan Jansen bekerja sama. Keduanya, berpencar mencari Shin. Helen masih berada di puncak gunung Rahtawu. Berjalan mondar mandir. Mengamati daerah sekitar. "Sialan! Arrrghhhh ...." teriak Helen kesal. Telapak kakinya menghantam permukaan tanah. Jari-jemarinya saling bertautan dengan telapak tangan dan di tekan bersama. Seolah Helen mengkhawatirkan saingannya itu. Tidak mungkin! "Kemana si bodoh itu pergi? Merepotkan sekali. Bagaimana jika ketahuan oleh para God Father? Pasti aku juga akan terbawa dalam masalah." Lanjut Helen menggerutu sebal. Di sisi lain Jansen melayang ke dasar lembah seluas 2 hektar. Menulusuri ilalang setinggi 2 meter. Jansen mendarat di bawah pohon Akasia. Tepatnya di tengah-tengah padang ilalang yang tumbuh subur. Kedua telapak tangan Jansen berdiri tegak di tepi bibir. Memanggil nama temannya. Suaranya melengking terbawa angin. "Shiiinnnn!" teriak Lelaki berkostum aneh berwarna hitam. Menutupi ujung kaki
Beberapa menit sebelumnya, Shin sedang asik menghayati siluiet yang hadir karena cahaya. Terekam dalam bentuk jasmani. Namun, tidak padat atau tidak cair. Makin lama di amati bayangan itu memunculkan sesosok yang menyerupai manusia dengan bentuk perawakan berbeda. Ternyata itu bukanlah pantulan tubuh Shin. Melainkan sesosok wanita bersayap. Bersetelan serba putih minimalis. Yakni, sehelai kain penutup pusar menjadi penghubung antara kemban dan bawahan yang terurai menjadi beberapa bagian. Penampilan simple tapi oversexed damagenya. Gadis itu mampu menyihir Shin dengan paras natural bak hawa yang di buang dari surga. Shin diam tertakluk untuk beberapa detik. Seumur hidup Shin belum pernah rasanya, bertemu dengan seorang yang nyaris sempurna seperti itu. Bahkan pesona gadis itu mampu mengalahkan kecantikan wajah dingin Helen. Makhluk apa itu? Shin mengernyit heran. Membatinkan tanya dalam nurani. Keraguan bergelayut. Berbagai spekulasi makin lama semakin
"Mi-minggir Jansen!" bentak Helen murka. Semula Helen menganggap Shin sebagai rivalnya. Gadis tersebut tak pernah peduli akan nasib buruk yang menimpa Shin.Tapi kali ini ada yang berbeda dan terasa aneh. Helen seketika menjadi panik sekaligus khwatir. Hatinya melunak. Egonya yang tinggi dilenyapkan. Rasa iri sudah tak di rasakan lagi. Wajar saja Helen merasakan hal seperti itu. Sebab sebagai seorang wanita tentu dia mempunyai hati yang lembut. Apalagi jika dinilai dari sudut pandang manusia, Helen tak mungkin tertawa, di atas penderitaan orang lain. Dimana kecelakaan maut akan segera menjemput. Lagi pula Shin adalah sahabatnya. Kendati demikian Jansen tak mengerti akan hal itu. Bukannya menanyakan apa yang terjadi. Jansen malah mengucapkan kata-kata kasar bernada tinggi, "Jangan hanya karena tindakanmu yang seenak jidat, sehingga menimbulkan banyak korban. Kenapa kau jadi bodoh Helen?" ucap Jansen memperingati, "Apa kau lupa mata itu akan merus