Aku menoleh dan tersenyum kaku pada Kak Salma yang sedari tadi menemaniku di kamar. Kak Salma tersenyum, kemudian mengusap punggung tanganku untuk memberiku ketenangan. Di luar, acara akad nikah akan segera dimulai. Ya, ini sudah seminggu sejak kejutan ulang tahun itu, dan artinya sekarang adalah hari pernikahan kami.
"Kamu tahu, Dek? Kakak juga ngerasain gugup yang sama seolah ini adalah acara nikahannya adek kandung Kakak sendiri." Kak Salma kembali berbicara.
Aku menatap wajah Kak Salma yang berkaca-kaca, "Kak Salma kangen sama Kak Sania?"
Kak Salma tersenyum dan mengusap pipiku, "Tentu saja kangen. Tapi Kakak selalu punya obat buat ngobatin kangen Kakak itu. Dengan liat kamu."
Kak Salma terkekeh pelan, "Kakak bener-bener bisa nemuin Sania pada diri kamu, Dek. Kalian itu bener-bener punya sifat yang mirip, dan itu bikin Kakak bahagia karena bisa melihat Sania lagi lewat kamu."
Aku mengerutkan kening menatap Kak Salma. Apa
"Tuhan, bolehkah aku menjadi pengemis, kali ini? Bisakah aku kembali bersikap egois, detik ini? Tolong aku. Kembalikan dia ke dalam jangkauanku. Aku ingin lebih lama menatap mata indahnya, senyum cantiknya, dan ketegarannya. Karena aku hanyalah sebuah kekosongan dan kegelapan, tanpa cahayanya."—Angkasa Yudhistira—"Saat jasad ini tak lagi bisa mereka jangkau, aku ingin menjelma jadi bintang paling terang di angkasa yang gelap. Biarkan mereka bisa memandangku ketika malam mulai menyapa. Aku akan hidup di langit mereka. Selamanya."
Ada alasan kenapa aku begitu kesal dan tidak suka pada cowok itu. Memang belum bisa dibilang benci sih, soalnya aku bertemu dia juga cuma baru sekali–sebelum di koridor kemarin.Waktu itu, aku turun dari bus dan berjalan kaki seperti biasa dari halte menuju gedung sekolah. Aku sudah terbiasa datang paling pagi, karena itu aku tidak terlalu kaget melewati jalan yang biasanya setelah bel pulang berbunyi selalu ramai oleh kendaraan maupun pejalan kaki, namun masih sangat sepi sebelum pukul tujuh kurang lima belas menit. Bel masuk berbunyi pada pukul tujuh tepat karena itu mayoritas siswa dan guru sampai di sekolah
Setelah ulangan sejarah yang membahas tentang masa lalu, dilanjutkan dengan dua puluh lima soal latihan matematika yang rumitnya minta ampun, benar-benar membuat otak terasa berasap."Kantin yuk, Bi."Aku mengacungkan jempol kemudian menumpuk buku-buku yang di atas meja dan kumasukkan ke dalam tas punggung. Memang seringnya aku malas ke kantin
Tepuk tangan serta sorak-sorai penonton yang menyaksikan pertandingan bola basket di lapangan sekolahku semakin terdengar keras saat tim sekolah kami mencetak angka. Ya, akhirnya aku menuruti permintaan Intan untuk ikut menyaksikan pertandingan itu. Selama jalannya pertandingan, sebenarnya pandanganku tidak terfokus pada pertandingan itu sendiri. Tapi justru pada cowok tinggi dengan kulit agak gelap yang juga ikut bertanding, tepatnya dari tim lawan sekolah kami.Galang Pradipta. Setiap gerak-geriknya tak kulewatkan sedikitpun. Postur tubuhnya, cara berjalannya, caranya menggiring bola, aku rindu semuanya yang ada pada dirinya. Sebulan
"Bintang, boleh minta tolong nggak?"Aku yang baru mendudukkan diri di kursi langsung menoleh pada Deni, si ketua kelas yang barusan bicara padaku. "Apa?""Lo kan hari ini tugas piket, tolong ambilin buku paket bahasa Indonesia sama buku tugas anak-anak di meja Bu Ani, ya? Bisa kan?"
"Butuh obat?"Aku menoleh pada Mbak Erin, perawat di UKS yang baru saja meletakkan segelas air putih di atas nakas. "Enggak usah, Mbak. Cuma kecapekan aja kok. Tiduran bentar pasti udah baikan.""Ya udah, kamu istirahat aja. Saya tinggal dulu ya."
Dengan wajah lesu dan kepala menunduk, aku melangkah keluar dari toko buku. Menghampiri Angkasa yang tengah terduduk santai di jok motornya yang terparkir di parkiran depan toko itu, sambil memainkan ponselnya. Saat aku sudah berada di depannya, dia menyimpan kembali ponsel berwarna putih itu ke dalam saku jaketnya dan mengangkat wajahnya ke arahku.Sebelah alisnya terangkat, seolah bertanya: "gimana?"
"Duh Tan, gimana dong?""Ya udahlah lo bilang aja apa adanya, kalo lo udah nyari kemana-mana tapi udah nggak ada yang jual."Aku dan Intan masih berdiri khawatir di depan ruang guru. Tadi saat pergantian jam pelajaran ketiga, Deni memberitahu bahwa aku disuruh menghadap Bu Ani saat jam istirahat kedua. Untuk apa lagi kalau bukan untuk menyerahkan buku paket se