Share

2 (Kabar Kematian si Gadis Gila)

[Mbak Afifah meninggal, Kak Tiara. Sebelum menghembuskan napas terakhirnya, mbak Afifah ingin sekali ketemu Kak Tiara.]

Tiara sedang diomeli Bian—bos yang menolak dipanggil bapak—saat terlihat notifikasi chat di aplikasi hijau menampakkan pesan itu di poni layar.

Hal itu membuat Tiara terguncang dan gagal fokus, tubuhnya merosot jatuh ke lantai karena lemas. Astagfirullah, innalillahi ... hatinya nyebut berulang kali. Afifah ... dia adalah teman karib Tiara di kampung. Baru saja Nurmaya—adik Afifah—yang mengabarkan kematiannya.

"Astaga Tiara! Aku sedang bicara, kenapa kamu malah duduk santai di lantai?!"

Tiara menahan napasnya sejenak, lalu menatap bosnya ragu. Namun, hal yang membuat Tiara jengkel ialah Bian malah lebih peduli pada lantai ketimbang bertanya apakah Tiara baik-baik saja atau tidak. 

Bian memang bos yang sangat galak dan menyebalkan untuk seluruh pekerja di sana. Jika saja bukan karena gajinya naik terus tiap tahun, mana mau Tiara terus bekerja di sana.

"Ma-maaf, Mas Bian. Saya sedang kaget. Makanya saya jatuh," kilah Tiara usai dituding duduk di lantai santai. 'Enak sekali duduk di lantai bersantai-santai. Jidatmu lebar!’ Tapi diam-diam Tiara mengatainya jidat lebar, saking tak ada hatinya Bian.

Dia mengerutkan kening. Memindai pegawai wanitanya dengan teliti.

"Kaget karena aku omeli atau kaget karena baru sadar kamu berbuat kesalahan?" tambahnya. Semakin Tiara lihat, dia semakin marah.

Tiara menunduk kepala karena tak kuat dengan tatapannya yang menusuk. 'Ya sudah, orang dengan tingkat galak macam Mas Bian ini tak bisa dibantah. Kalau katanya aku salah, ya salah.' batinnya. Dan lagi bukan waktu yang tepat untuk memikirkan ocehan pria galak itu. Tiara begitu sedih teringat Afifah. Baru beberapa bulan lalu ia dikabari jika sahabatnya gila, tiba-tiba muncul kabar paling Tiara takuti.

Yaitu meninggalnya dia.

"Jawab Tiara! Kamu malah diam!" Bian murka. Menggebrak meja. Para pekerja lain yang ada di luar ruangan sampai menoleh ke ruangan Bian yang kacanya setengah terlihat.

"Saya kaget lihat pesan yang mengabarkan sahabat saya meninggal." Tiara menggigit bibir usai mengatakannya, kembali hanyut dalam perasaan penuh duka. Fifah ... lagi-lagi Tiara ingat dia.

Tiara tak pernah menyangka sahabatnya akan meninggal secepat ini. Tapi benarkah kabar itu? Terkadang Tiara ingin tak percaya. Tapi pesan di sana sangat jelas dia lihat dari siapa. Nurmaya tidak mungkin bohong.

Bian diam. Entah apa yang dia pikirkan, apalagi setelah melihat air mata Tiara jatuh.

"Turut berduka cita," ucap Bian usai hening beberapa saat. "Itukah yang membuat kamu menumpahkan teh panas ke pengunjung tadi?" lanjutnya menuduh.

Jelas Tiara menggeleng cepat.

"Maaf saya tadi ceroboh, Mas Bian. Itu murni kesalahan saya. Saya melihat pesannya barusan di HP yang M-Mas Bi-Bian si-sita," terang Tiara diakhiri kalimat patah-patah. Tangannya menghapus air mata itu.

Tiara kian tersedu. Ingin segera membalas pesan itu, tapi seperti yang dilihat, si galak menyita ponsel Tiara. Bian meraih ponsel yang ada di meja.

"Aku boleh baca?" Tiara jawab boleh. Tapi tak lama dia malah mendesis kesal. "Gaya-gayaan segala pakai pola. Kayak orang penting aja." Dia menyodorkan Tiara ponsel itu. Meminta membuka polanya.

Tira sedang sedih, dia malah berulah. Wanita itu jadi semakin membencinya. Walau begitu, Tiara tetap tak melawan dengan kata-kata, membuka polanya.

"Ini, Mas."

Bian bergeming, menatap Tiara dalam diam.

"Kamu duluan. Itu pesan untukmu, rasanya kurang etis kalau aku membacanya duluan."

Si galak terkadang baik. Hanya caranya yang beda. Alasan kedua yang membuat Tiara bertahan. Tiara pun membuka pesan dari Nurmaya. Ternyata berderet beberapa pesannya yang mengiris hatiku.

"Innalillahi, Fah ... ya Allah." Tangisku pecah usai membaca detail tentang kematiannya. "Mas, bolehkah saya cuti beberapa hari? Saya mau melihat jenazah Afifah untuk yang terakhir kali," izinnya meminta.

Sepanjang  tiga tahun bekerja di restoran Bian, Tiara memang jarang meminta cuti. Terlebih lagi dua bulan ini ibunya selalu menelepon melarang untuk pulang atau mengirim uang. Entah apa alasannya, ia pun tak tahu. Tapi kalau sudah melihat pesan Nurmaya ini, Tiara tak bisa diam saja.

[Mbak Fifah ingin melihat Kak Tiara sebelum menutup matanya.]

Pesan itulah yang paling membuat hati Tiara terasa diiris-iris. Tiara tak bisa hanya diam saja, di saat Afifah ingin dirinya pulang, untuk melihatnya kali terakhir.

Bian diam. Memejam mata sejenak. Memijat kening yang mungkin sedang pusing.

"Kamu boleh cuti, tapi dengan syarat aku harus ikut," katanya.

'Astagfirullah ... apa-apaan makhluk Tuhan yang satu ini. Dia pikir dia mau apa ikut ke kampung halamanku? Mau liburan? Aku mau melayat.'

Tiara menghapus jejak air matanya dengan cepat, menandakan dia begitu kesal. Tapi demi bisa pulang cepat untuk melihat dikuburkannya Afifah, Tiara akhirnya membolehkan.

Karena hanya izin cuti dapat 3 hari, Tiara tidak banyak membawa barang. Ketika mampir ke kosan mungilnya yang berada tak jauh dari tempat kerjanya, ia hanya membawa tas kecil yang berjejal beberapa setel pakaian untuk ganti.

Ia pulang ke desanya dengan membawa pria kota yang mungkin saja akan menjadi bahan omongan tetangga. Tiara pusing memikirkannya. Sepanjang jalan dia hanya diam, melirik ke luar jendela mobil mahal Bian.

Satu lagi, Tiara tidak mengabari orang tuanya dulu ketika mau pulang. Sebab orang tuanya tidak memiliki ponsel.

***

"Seberapa jauh, sih rumahmu? Kita sudah enam jam lebih di jalan. Katamu rumahmu tak jauh dari terminal angkutan umum. Kita sudah melewatinya hampir dua puluh menit lalu. Dan setiap ketemu pemukiman, bukan lagi bukan lagi."

Bian mulai dongkol. Perjalanan selama itu, dan belum ada tanda-tanda sampai ke desa tempat Tiara dilahirkan.

"Sabar, Mas. Sudah saya katakan, loh rumah saya itu di desa yang pelosok banget." jawab Tiara tidak mood. Dalam hati dirinya mengomel, siapa suruh ingin ikut? "Nah, setelah melewati kebun teh ini kita akan sampai di desa tempat saya tinggal."

Bian menghela napasnya dalam-dalam, memupuk lebih besar lagi kesabaran yang setipis tisu itu. Lalu tidak lama mereka mulai melewati perkebunan teh yang Tiara maksud. Seketika kuduknya merinding, seluruh bulu di tengkuk berdiri.

"Ra, kamu yakin rumahmu ke sini? Kita tidak sedang menuju ke kuburan, kan?" tanya Bian setelah rasa takut merayapi dirinya.

Tiara melirik sengit. "Maksudnya?"

"Begini, rumahmu sangat jauh dan pelosok."

"Terima kasih, Mas Bian atas ejekannya. Mas Bian boleh balik lagi ke kota kalau merasa menyesal datang ke sini." Tiara sudah mulai tak tahan lagi dengan sikap si galak yang suka bicara terang-terangan.

"Duh, bukan gitu maksudku. Aku cuma ingin cepat-cepat sampai. Seluruh tubuhku terasa remuk, Ra. Tahu sejauh ini, mending pakai pesawat." Ralatan yang sangat menyebalkan. Dan Tiara tambah kesal karenanya.

Tiba-tiba sesuatu melintas sangat besar. Tampak seperti kerbau yang begitu hitam.

"Awas Mas Biaaaan!" Tiara berteriak ketika melihatnya.

Karenanya, Bian menginjak pedal rem dadakan. Mobil terbanting ke samping jurang, beruntung ada pohon besar di sana, sehingga selamatlah keduanya dari kecelakaan yang hampir saja menjemput nyawa.

Tiara terengah, syok. Berpegangan pada kursi mobil erat.

"Apa itu tadi, Ra?"

"Mu-mungkin sapi warga yang lepas."

"Hah? Yang tadi itu sama sekali bukan seperti sapi!" bantah Bian tidak percaya.

"Ya mana saya tahu, Mas! Saya tidak pulang selama tiga tahun!" bentak Tiara. Akhirnya kekesalannya termuntahkan saat itu juga, setelah ia tahan-tahan sebelumnya.

Bian tidak terima Tiara membentaknya. Tapi dia terpaksa meredam kemarahannya untuk sementara. Sebab selain sudah malam, gerimis pun mulai turun, dan tempat itu terasa begitu horor baginya. Jadi Bian memutuskan melanjutkan perjalanan yang mengerikan ini, lagi.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Dina0505
lah si Bian bisa2nya ikut sama Tiara. bilang aja kamu takut jauh2 dari Tiara
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status