Share

Inti Sari

Besok adalah hari dimana aku akan memulai petualangan baru. Aku bersama Agus akan pergi ke Kota Malang. Sebenarnya aku juga masih tinggal di Malang hanya saja aku tinggal di Kabupaten Malang di mana apabila ingin ke kota harus menempuh perjalanan kurang lebih 3 sampai 4 jam menggunakan sepeda motor.  Malam hari sebelum berangkat, aku datang ke rumah Agus untuk memastikan persiapan dia untuk besok. Dari kejauhan aku sudah melihat Agus duduk di teras rumahnya.

“Woiii…  Gus gimana?” Teriakku dari kejauhan yang membuat Agus kaget.

“Hah… gimana apanya?” Jawab Agus sambil memegang dadanya karena terkejut.

“Kita kan besok berangkat ke kota Gus!” Jawabku sangat antusias.

“Waduh.. Aku gak bisa ikut man, aku gak mungkin dapat izin dari bapakku. Tahu sendiri kan aku harus bantu rawat ternak sama sawahnya bapak.” Jawab Agus sambil gelisah.

“Coba izin dulu lah Gus, masak belum dicoba udah gak bisa. Bapakmu pasti setuju kalau kita ke kota buat cari kerja, bilang aja nanti kita bakal pulang bawa banyak uang.” Rayuku ke Agus.

“Waduh.. gimana ya man?” Jawab Agus sambil garuk-garuk kepala

“Yaudah gus besok aku jemput jam 9 ya, kamu harus sudah siap lo ya.” Ucapku sambil beranjak pergi.

Terlihat dari kejauhan Agus sangat gelisah dan bingung. Di tempatku memang sedikit sulit untuk anak muda merantau. Bukan karena kita tidak mandiri, tapi lebih karena beberapa orang tua yang ingin anaknya untuk melanjutkan pekerjaan keluarga. Seperti petani, peternak sampai pedagang. Kecuali kalau orang tua kita tidak memiliki sawah dan ternak atau orang tua kaya yang memiliki pegawai untuk merawat sawah dan ternak. Tapi bagi kita yang termasuk dalam keluarga sedang-sedang saja ya banyak tantangan untuk merantau apa lagi berfikir untuk kuliah.

Keluarga Agus di kampung cukup terpandang karena memiliki beberapa petak sawah dan beberapa ekor hewan ternak, seperti kambing dan sapi. Sehingga sebelum lulus sekolah dulu Agus sudah disibukkan dengan mengurus ternak. Yang unik di desa kami hampir setiap anak cowok memiliki tabungan hewan ternak seperti kambing atau sapi, dengan konsep orang tua membelikan kambing atau sapi yang masih sangat kecil lalu yang merawat atau yang mencarikan makan adalah anak cowok tersebut. Setelah dewasa sang anak bebas menentukan mau digunakan untuk apa hewan ternak tersebut. Yang paling banyak adalah dijual lalu hasil penjualannya digunakan untuk menikah. Terlihat sangat sederhana dan mudah ya untuk kita hidup di kampung.

Dalam perjalanan pulang, aku melewati rumah Sari, teman saat sekolah. Dulu Sari adalah primadona di sekolahku dan di kampung Agus tentunya. Wajahnya yang cantik, pintar dan tutur katanya yang lembut membuat banyak cowok yang suka, termasuk aku. Pernah aku mencoba mendekati Sari pada saat sekolah, yaitu pada saat aku akan kenaikan kelas 11. Cara termudah buat cowok bodoh sepertiku mendekati Sari yang pintar adalah dengan cara meminta belajar bareng. Saat itu sepulang sekolah aku bertemu dengan Sari. Saat aku melihat kondisi kanan-kiri sepi, aku mulai beraksi, bukan beraksi mencopet atau merampok tapi hanya akan kenalan saja. Mungkin kalian akan bertanya kenapa harus menunggu sepi??? Yang perlu kalian tahu di pertemanan cowok dan cewek itu sangat berbeda dalam memperlakukan tema. Saat temen cewek melihat temannya kenal dengan cowok, maka yang terjadi adalah teman-temannya si cewek akan berusaha untuk mendukung dan memberi semangat. Sedangkan kalau teman cowok melihat temannya berkenalan dengan cewek apa lagi ceweknya cantik, yang terjadi adalah hinaan dan hujatan sampai akhirnya si cowok kenal mental dan mundur. Bagiku ditolak oleh cewek bukan suatu masalah besar, tapi yang menjadi masalah besar adalah saat aku ditolak oleh cewek dan teman-temanku tahu, pasti aib itu akan dicertikan berulang-ulang kali saat nongkrong bareng dan aib itu tidak akan hilang dalam waktu 1 atau 2 tahun saja, bisa sampai kita berumah tangga nanti.

Sambil mengendarai sepeda motorku dan Sari jalan kaki saat itu aku menghampiri dia.

“Assalamualaikum.. Sari..” Sapaku sedikit ragu.

“Wallaikumsalam.. iya..” Jawab Sari sambil menoleh.

"Sari kenalin aku Wagiman, aku disuruh Bu Sri untuk minta tolong kamu ajari matematika..” Ucapku dengan lancar. Karena kalimat itu sudah aku siapkan sebelumya. 

Oh.. iya Bu Sri adalah guru matematika di kelasku yang kerjaannya marah-marah terus ke aku karena beliau anggap aku murid yang bodoh. Setiap diterangkan pasti aku tidak paham. Aku juga heran kenapa tidak paham.

“Hah.. Bu Sri yang nyuruh..???” Jawab Sari kebingungan.

“Iya Sar, aku disuruh Bu Sri..” Jawabku meyakinkan. Meskipun pada dasarnya Bu Sri tidak pernah menyuruhku untuk minta tolong ke Sari.

“Emmm.. ya… yaudah belajar di rumahku aja ya..” Jawab Sari Canggung.

“Yaudah ayo aku bonceng Sar..” Ucapku sambil bermuka manis.

Dengan penuh keraguan akhirnya Sari naik ke motorku. Sebenarnya kita udah sering ketemu karena kelas kita bersebelahan. Hanya saja kita tidak pernah berkomunikasi karena aku berfikir tidak memiliki bahan untuk ngobrol atau hanya sekedar kenal dan baru kali ini aku memiliki ide jenius itu.

“Man.. rumahku di depan ini..” Ucap Sari memecah suara bisingnya knalpot racingku.

“Oh.. iya..” Jawabku kaget.

Sampainya di rumah Sari aku sangat terkejut, karena rumah besar yang dulu sering aku lewati ternyata milik orang tua Sari. Aku langsung dipersilahkan untuk masuk oleh Sari.

“Tunggu sini man, aku ganti baju dulu..” Ucap Sari sambil berlalu pergi.

Belum sempat menoleh Sari sudah pergi dari hadapanku. Di dalam ruang tamu Sari aku melihat kesana kemari dan pandanganku terhenti di sebuah foto keluarga. Dengan rasa penasaran aku mendekati foto itu. Aku merasa tidak asing dengan wajah bapak Sari.

“Siapa ya bapak tua ini, kayaknya pernah ketemu..” Gumanku dengan mencoba mengingat.

Belum sempat mendapat jawaban atas penasaranku tiba-tiba suara orang membuka pagar rumah membuatku terkejut. Dari jendela aku mencoba melihat siapa yang datang.

“Astagfirullah..” Ucapku dengan terkejut.

Aku melihat Pak Rois masuk ke rumah Sari, sempat aku berfikir untuk apa Pak Rois kesini tapi setelah aku ingat-ingat ternyata foto keluarga yang ada di ruang tamu Sari adalah Pak Rois dengan kata lain Sari adalah anak Pak Rois. Saya harap bukan seperti itu. Yang saya harapkan Pak Rois hanya numpang foto saja di keluarga Sari. 

“Waduh.. waah.. waduh… waahh..” Ucapan itu yang berulang keluar dari mulut manisku.

Pak Rois adalah kesiswaan di sekolahku. Guru yang sangat galak dan tegas. Tugas beliau adalah menertibkan anak-anak yang bandel atau tidak patuh terhadap aturan sekolah. Kebetulan aku adalah salah satu siswa yang memberikan beliau pekerjaan di sekolah. Aku adalah anggota tetap yang sering disidang oleh Pak Rois. Sudah puluhan kali poniku dipotong tanpa model oleh Pak Rois, Aku juga pernah dipukul dengan penggaris kayu sampai patah. Yang paling parah aku pernah dikejar Pak Rois karena ketahuan kabur sampai akhirnya beliau jatuh, mungkin apabila badanku ini dirontgen semua sidik jari Pak Roislah yang memenuhi badanku. Sungguh kejam Pak Rois ini.

Di sekolah meskipun kita tidak melakukan kesalahan apapun sebisa mungkin kita pasti akan menghindari Pak Rois. Bahkan hanya melihat beliau dari kejauhan saja kami sudah merasa terancam dan mencoba mencari tempat persembunyian. Kali ini aku sendiri yang malah datang ke rumah Pak Rois. Entahlah apa yang selanjutnya akan terjadi.

“Assalamuaikum…” Suara Pak Rois yang menggelegar itu aku dengar.

“Waa..wa..wa..” Saat itu aku lupa harus menjawab apa, seketika pelajaran agamaku hilang.

“Loh.. Giman.. ada apa le..??” Tanya beliau ke aku.

“Emmm.. emm.. emmm.. hehehe.. Bapak..” Jawabku seperti bayi yang baru belajar bicara.

“Man.. Ada perlu apa?” Tanya Pak Rois lagi.

“It… it.. tu.. ma.. ma… uu.. anu pak…” Mulutku sangat sulit untuk dibuka, mungkin syaraf yang ada di rahangku juga ikut panik saat itu. Karena sudah tahu bahwa di depan ada orang yang sering menampar pipiku dengan kalimat yang katanya sayang.

“Saarrr… Sarriii..” Teriak Pak Rois.

“Iya Pak..” Jawab Sari sambil mencium tangan Pak Rois.

“Ini ada Wagiman, kamu yang ngajak kesini?” Tanya Pak Rois ke Sari.

“Iya Pak.. Giman mau belajar bareng katanya..” Jawab Sari dengan lembut sambil ada beberapa kalimat yang tidak bisa aku dengar. Entah karena suara mereka yang terlalu pelan atau indra pendengaranku yang sudah tidak berfungsi lagi dalam keadaan panik seperti ini.

Melihat obrolan Pak Rois dan Sari saat itu membuatku seperti menjadi tawanan perang. Dalam pikiranku cuma satu, bagaimana caranya agar aku bisa kabur dengan selamat.

“Yaudah Man kamu lanjut belajar dulu sama Sari, Oh.. Iya sudah makan kamu man?” Ucap Pak Rois.

“Iy.. iya.. Pak.. Su.. sudah pak. ” Jawabku singkat.

Pak Rois berlalu meninggalkan aku dan Sari.

“Ayo man bab mana yang kamu belum paham?” Tanya Sari sambil mulai membuka buku.

“Hah.. bab apa Sar?” Tanyaku bingung.

“Katanya kamu mau belajar matematika..” Ucap Sari.

“Oh..iya..iya..” Jawabku dengan lancar, seolah-olah semua syaraf sudah kembali berfungsi pada semestinya.

Hampir 30 menit kita belajar bareng. Hmmm.. bukan belajar bareng sebenarnya, yang lebih tepat adalah Sari yang mengajariku. Sari adalah orang yang sangat sabar menghadapi kebodohanku, tidak seperti bapaknya.

“Sar Pak Rois bapakmu?” Tanyaku sedikit ragu.

“Iya..” Jawab Sari singkat.

“Sudah berapa lama..?” Tanyaku lagi.

“Apanya?” Jawab Sari.

“Oh.. Bukan, Kok aku gak tahu ya?” Tanyaku sok asik.

“Iya buat apa tahu..?” Jawab Sari singkat.

“Oh.. iya ya.” Ucapku sedikit bingung, dalam pikiranku buat apa aku tanya seperti itu sangat tidak penting untuk ditanyakan.

“Bapak sering cerita tentang kamu loh tapi..” Tiba-tiba ucap Sari.

“Hah.. iya kah..” Jawabku kaget.

“Cerita apa?” Tanyaku antusias.

“Ya kelakuanmu sama temen-temen di sekolah yang nakal” Jawab Sari.

“Hehehe..” Aku tersenyum, merasa bahwa itu suatu yang hebat dan keren.

“Aku ya kalau punya anak kayak Giman sudah aku usir dari rumah kalau gak sudah aku pukulin tiap hari. Masak ada anak kayak gitu, susah banget diatur, mau jadi apa dia kalau udah besar?” Ucap Sari menirukan ucapan bapaknya.

“Heh.. glek,” aku hanya bisa menelan ludah mendengar ucapan Sari dan Sari masih menceritkan keburukanku yang diceritkan bapaknya.

Mendengar cerita Sari aku  mulai pesimis terhadap usahaku mendekati Sari.

“Sar.. makan dulu..” Teriak Ibu Sari dari dalam rumah.

“Iya bu..” Jawab Sari.

“Man aku makan dulu ya..” Ucap Sari sambil pergi.

“Iya Sar..” Jawabku singkat, dalam batin aku mikir kenapa ya aku tidak ditawari makan, apa aku tidak kelihatan ya.

Dalam kondisi yang tenang, tiba-tiba Pak Rois datang menghampiriku di ruang tamu.

“Pak..” Sapaku duluan.

“Sini man…” Ucap Pak Rois sambil melambaikan tangan.

Dengan reflek aku langsung berdiri dan menghampiri Pak Rois. Di sekolah aku sangat paham dengan kode lambaian tangan Pak Rois. Saat Pak Rois melambaikan tangan tugas kita hanya mendekat bukan malah menjauh. Karena saat kita menjauh akan semakin berat hukuman yang akan kita terima. 

“I.. iya.. pak..” Jawabku sambil berjalan.

“Ayo duduk sini, kita makan bareng.” Ucap Pak Rois sambil menyiapkan tempat duduk.

“Hah.. Tidak usah Pak, masih kenyang.” Jawabku menolak.

“Maaann..” Ucap Pak Rois dengan singkat.

Mendengar ucapan itu seluruh badan langsung mengiyakan. Karena pada saat di sekolah apabila Pak Rois ngomong dengan nada seperti itu artinya kita harus nurut.

 “Iyy.. iya pak.” Jawabku sambil mulai duduk.

“Makan yang banyak Man biar pinter..” Celetuk Ibu Sari sambil mengambilkan nasi.

Saat itu adalah suasana yang membuatku bingung antara senang dan takut, karena sepanjang kita makan Pak Rois menceritakan tentang sikapku di sekolah. Yang membuatku takut adalah semua ceritanya negative dan yang membuatku senang adalah Ibu Sari selalu membelaku. Aku merasa sudah diterima dalam keluarga Sari, batinku dalam hati yang tidak tahu diri ini.

Hari menjelang maghrib, akhirnya aku pamit untuk pulang. Sepanjang jalan rasanya hati benar-benar senang melihat matahari terbenam, seolah-olah setuju agar malam segera berganti pagi. Biasanya sekolah menjadi kegiatan yang tidak ku harapkan. Setelah bisa kenal dengan Sari aku baru sadar kalau sekolah adalah satu-satunya harapan untukku meraih masa depan.

Pagi ini aku berangkat sekolah dengan penuh harapan, rencanaku tetap sama yaitu pulang sekolah belajar bareng sama Sari. Sesederhana itu cita-citaku saat ini.

Sudah hampir seminggu aku selalu belajar bersama Sari. Bila dilihat dari grafik tabel kamampuan harusnya grafikku sudah meningkat. Tapi pada kenyataanya sama saja kata guruku tidak ada perubahan apapun. Meski begitu, seminggu ini aku jauh lebih semangat menjalani sekolah. Setiap bertemu dengan Sari kita selalu mengirim kode-kode untuk nanti belajar bareng. Meskipun pendiam Sari adalah anak yang cerewet dengan apa yang tidak disukai, jadi saat aku belajar bareng ya apabila aku salah berkali-kali aku akan diomelin juga.

Di hari ke 10 aku belajar dengan Sari, suasana saat itu sangat dingin Sari tidak sesemangat biasanya dan akupun hanya diam saja melihat Sari yang kurang antusias. Dalam keheningan tiba-tiba Sari bilang,

“Man.. besok kamu belajar sendiri aja ya..” Ucap dia dengan raut wajah yang sedih.

“Ohh.. iya Sar.” Jawabku singkat tanpa bertanya alasanya.

Aku pulang bertanya-tanya adakah yang salah dalam perlakuanku, atau aku yang terlalu bodoh yang membuat Sari marah. Semenjak ucapan Sari itu aku tidak lagi ke rumahnya dan di sekolah pun kita juga kembali seperti asing. Setiap aku sapa dia hanya menunduk lalu pergi.

Sekolah membuat aku kembali menjadi seperti orang asing, tidak ada harapan atau orang yang membuatku semangat. Sari kembali menjadi Sari yang sebelumnya. Dia kembali diam tanpa tegur sapa. Setiap aku mencoba dekati, Sari akan menghindar, mungkin seperti perlakuanku kepada Pak Rois.

Saat aku duduk di bawah pohon sendiri, Wati tiba-tiba datang menghapiriku. Wati adalah teman dekat Sari.

“Man aku mau ngomong!” Ucap Wati sambil menoleh kanan-kiri.

“Iya ngomong aja wat..” Jawabku seadanya.

“Bener kamu lagi deket sama Sari?” Tanya Wati dengan antusias.

“Iya dulu tapi sekarang udah enggak lagi.” Jawabku sedikit acuh.

“Ohh.. bener berati kata Bu Sri kemaren.” Ucap Wati.

“Hah.. Bu Sri ngomong apa?” Tanyaku kaget.

“Bu Sri bilang kalau kamu (Sari) jangan mau dideketi Wagiman nanti kamu ketularan nakal, Giman gak cocok sama kamu, dia cuma mau nyari contekan ke kamu Sar.” Ucap Wati menirukan ucapan Bu Sri.

“Masak bilang gitu Wat?” Tanyaku sedikit tidak percaya.

“Iya man Bu Sri bilang gitu tadi di kelas. Bu Sri juga bilang kalau Bu Sri tidak pernah nyuruh Wagiman belajar bareng sama Sari, itu cuma akal-akalan Wagiman aja” Ucap Wati semakin semangat cerita.

“Sudah Sar jangan mau dideketin Wagiman, dia itu gak punya masa depan mending kamu sama Rian saja, dia pinter.” Imbuh Wati menirukan Bu Sri.

“Terus Sari gimana?” Tanyaku dengan antusias.

“Ya.. Cuma nundukin kepala aja malu, kan ditertawakan sama temen-temen satu kelas. Kasian aku sama Sari.” Jawab Wati.

“Waddduhh.. gimana ya Wat..?” Ucapku kebingungan.

“Yaudah yang penting kamu tahu alasannya Sari jauhin kamu apa, kalau bisa minta ma’af ke Sari karena udah bohong.” Jawab Wati sambil beranjak pergi.

Akhirnya aku datang ke rumah Sari untuk minta Ma’af, dari kejauhan aku sudah melihat Pak Rois nyuci motornya. Itu yang membuatku maju mundur untuk ke rumah Sari. Setelah membulatkan tekat untuk minta ma’af, aku tetap maju ke rumah Sari.

“Assalamuallaikum..” Teriakku dari kejauhan.

“Wallaikumsallam.. masuk man.” Jawab Pak Rois.

“Mau ketemu Sari atau Bapak?” Tanya Pak Rois.

“Ketemu Sari Pak.. Hehehe..” Jawabku singkat.

“Saarri ada giman saarr…” Teriak Pak Rois memanggil Sari.

Beberapa kali memanggil tapi Sari tidak keluar, akhirnya Pak Rois masuk ke rumahnya. Selang beberapa waktu Pak Rois keluar.

“Man.. Sari lagi belajar, mau fokus sama persiapan ujian masuk kuliah katanya, besok-besok aja ya kesini lagi.” Ungkap Pak Rois.

“Oh yaudah Pak kalau gitu.” Aku pamit sambil mencium tangan Pak Rois.

Sepanjang jalan pulang, seperti ada yang mengganjal. Aku berusaha berfikir apakah ini yang dinamakan patah sebelum tumbuh. Aku berfikir apakah Sari yang menganggapku istimewa sampai dia kecewa atau sebaliknya aku yang dia anggap tidak tahu diri.

Semenjak saat itu aku mulai berubah. Sari sibuk dengan mimpi-mimpinya dan aku sibuk menghapus mimpi-mimpiku dengan Sari. Aku ingat Sari pernah bilang kalau dia setelah sekolah akan kuliah agar bisa belajar lebih banyak. Saat itu aku menganggapnya hanya sebatas cerita biasa, tapi setelah melihat kegigihannya belajar aku mulai termotivasi untuk sama seperti dia. Aku sudah terlalu sering dianggap bodoh dan nakal, bahkan guruku sendiri bicara seperti itu, aku sampai berfikir, “andai saja aku pintar mungkin Sari akan mau denganku.” 

Karena itulah aku memutuskan untuk kuliah agar guru-guruku dan Sari tahu kalau aku bisa menjadi orang pintar.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status