Share

Bab 6

Aku dan Mas Lian makan sepiring berdua. Kami memang sering begini, supaya keromantisan kami tetap terjaga. 

"Makan sepiring berdua, enak bener nggak harys nyuapin anak," ucap Mbak Ambar. 

"Kamu nyinyir sekali lagi, kujahit mulutmu, Mbar!"ucap Mbak Ratih. 

Bapak hanya geleng-geleng kepala melihat kelakuan kami. Mas Helmi makan dengan rakus, seolah ia tak ingat dengan kejadian tadi siang. 

--

Pagi hari. 

Aku sudah bersiap, hari ini akan pergi memantau kebun. Kata Maman--penjaga kebun, harusnya hari ini panen jeruk dan juga sawo. 

"Kamu mau ke mana, Dek?" tanya Mas Helmi saat melihatku dan Mas Lian sudah rapi. 

"Mau ke kebun, Mas." 

"Loh, kenapa?" 

Alisku bertaut melihat sikap Mas Helmi. 

"Lah, memang aku harus punya alasan, kalau mau ke kebun sendiri?" 

Mas Helmi garuk-garuk kepala. Meihatnya, aku jadi was-was. Takut terjadi sesuatu dengan kebun. Sementara selama ini Mang Maman selalu rajin mentransfer uang hasil panen. 

"Em, anu, biar Mas saja." 

"Nggak usah, Mas. Biar aku sama Fira aja." 

Sepertinya Mas Lian juga merasakan hal yang sama denganku. Buktinya kini ia seperti tergesa-gesa. Jarak kebun ke rumah Mas Helmi memang sedikit jauh. Sekitar lima belas menit baru sampai. 

Sampai di sana, aku melihat beberapa pekerja tengah duduk santai. 

"Loh, Mang, sudah panen?" 

Aku menyapa Mang Maman sambil melirik ke arah pohon jeruk yang sudah gundul. 

Mang Maman langsung berdiri begitu melihat kedatanganku. Wajahnya pucat pasi, tangannya saling meremas. 

"Mang, kenapa?" 

Mang Maman masih bungkam. 

"Jujur aja, Mang. Ada apa? Saya nggak bakal marah kok." 

"Anu, Bu..." 

-

Aku dan Mas Lian saling pandang. 

"Kenapa, Mang?" Kali ini giliran Mas Lian yang bertanya dengan lembut. 

"Sebenarnya, sudah panen, uangnya ada di kakak Bu Fira. Cuma kata Pak Helmi laporannya suruh nanti saja. Nunggu yang sebelah sana juga panen." 

Mataku sontak membeliak, mulut mangap, lah kalian bayangin aja tuh sendiri! 

Kucubit lengan ini, sakit. Fix, bukan mimpi! 

Mas Helmi memegang uang itu? Atau jangan-jangan.... 

"Sudah berapa kali, Mang?" 

"Ini ketiga kalinya." 

Kepalaku mendadak pusing. Mimpi apa dulu aku punya kakak gak tahu diri kayak Mas Helmi. Hidupnya sudah terjamin karena kami rajin mengirim uang. Toh uang untuk Ibu pun kadang lebihkan untuk Mbak Ambar. Mas Helmi pun bekerja meskipun serabutan. 

"Aku sudah nggak tahan lagi, Mas. Kita pulang saja lah nanti sore. Benar-benar! Bisa tinggi tensiku lama-lama di sini," ucapku sambil berjalan menuju mobil. Mas Lian tak menanggapi, mungkin karena ia pun bingung harus bicara apa? 

Kami sampai di rumah, aku menggedor pintu kamar Mas Helmi yang tertutup rapat. 

"Apa sih, pagi-pagi sudah pake otot aja, Fir?" tanya Mbak Ratih. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status