"Makasih, ya, Qia!" ucap Karina sambil keluar dari toko. Ia berjalan sebentar menuju pinggir jalan dan memberhentikan taksi.
Hampir lima menit dirinya menunggu taksi yang tak kunjung ia temui. "Karina?" tanya seorang wanita yang datang dari arah kanan jalan. Karina merasa terpanggil dan menolehkan kepalanya. Ia mampu lihat dengan jelas siapa wanita yang baru saja memanggilnya, Nita. "Nita! Kemana aja? Kita baru ketemu!" ujar Karina antusias. Ia benar-benar di pertemukan kembali dengan semua sahabatnya saat kembali. "Baik, Rin. Kamu gimana?" tanya Nita. "Baik. Lo mau kemana?" Nita nampak kesusahan menjawab pertanyaan Karina yang terkesan mudah. Ia menatap pijakan kakinya kemudian kembali menatap sendu wajah Karina. "Mau jemput ke sekolah Siska, Rin." "Siska? Keponakan lo?" tanya Karina bingung. Pasalnya ia tahu betul Nita itu adalah bungsu dan tidak mempunyai adik. Nita tersenyum tipis. "Dia anak perempuan aku, Rin. Aku tahu kamu pasti kaget, ya?" ucapnya. Karina termenung di tempat. Ia kembali mencerna baik-baik perkataan Nita. "A-anak?" "Gini, Rin. Nanti aku jelasin kalau ada waktu, ya." Nita bergegas berjalan meninggalkan Karina yang masih terdiam. Pikirannya kacau, sulit untuk menerima kenyataan yang barusan Nita sampaikan. Walau usia keduanya memang sudah cukup untuk mengurus seorang anak, tapi jika menjemput anaknya ke sekolah itu berarti umur nya hampir 7 sampai 8 tahun. "Info penting apa lagi yang gue tinggalin di sini, sih!" gumamnya. Tak lama, taksi berhenti tepat di sampingnya. Dan tanpa pikir panjang lagi, Karina langsung masuk dan pergi menuju tempat kerjanya, walau dengan pikiran yang lumayan berantakan. Saat tiba, Karina mempercepat langkahnya dan memasuki lift kemudian tiba di ruang kerjanya. Tangannya meraih kenop pintu dan perlahan membukanya, ia takut Marcel sudah datang dan menghukumnya dengan cara 'pemotongan gaji'. Itu menakutkan. "Loh, si Marcel belum datang nih, ceritanya? Tau gini ngapain buru-buru dateng, coba!?" gerutunya yang lalu mendudukkan bokongnya di kursi. Ia sedikit bersantai dengan kopi di tangannya. Belum ada tugas atau jadwal apa-apa selain jadwal harian yang kemarin di berikan oleh Kayla. "Gue harap ini berhasil, sih." Karina putuskan untuk mengecek kembali perdataan yang bersangkutan dengan perusahaannya bekerja. Tak hanya itu, ia juga menyiapkan beberapa materi yang akan di bahas di meeting siang ini. Hampir memakan waktu selama 3 jam, jam dinding kini menunjukkan pukul 11 pagi. Ada rasa aneh menyelimuti Karina. "Udah jam segini, kemana tuh orang belum dateng?" tanyanya pada dirinya sendiri. Karina bangkit untuk mengisi tumbler nya dengan air minum. Ia berjalan menuju dispenser kemudian mengisinya dengan air. Ia menunggu selama beberapa detik, setelahnya tumbler nya penuh dengan air. Karina tak mendengar suara lainnya, ia berbalik tanpa perhitungan dan berakhir terkejut akibat Marcel sudah ada di hadapannya. "Astaga! Kapan lo masuk? Gue gak denger bunyi pintu!" ucapnya penuh tanya. "Kamu melanggar peraturan nomor satu, dan juga saya mau masuk ada suara atau enggaknya juga terserah saya. Toh, ini kantor saya!" ucap Marcel. Karina tertergun, apa yang Marcel bilang memang benar adanya. Tapi rasanya, Karina semakin asing dengan Marcel yang sekarang ia kenal. Waktu memang telah banyak berlalu, begitu juga dengan sikap seseorang. "Lo— Pak Marcel marah? Saya minta maaf kalo gitu," ucap Karina. Ia kembali perlahan ke mejanya. "Saya gak marah. Persiapan buat meeting hari ini gimana?" tanya Marcel. "Baik, Pak. Semua sudah saya siapkan." "Bagus." Karina membuka notebook mininya, "Meeting kali ini di mulai pukul satu siang, bersamaan dengan Kepala Manager dan para asisten manager di tiap divisi." Karina melirik ke arah Marcel, laki-laki itu melamun. Tatapannya kosong ke arah lantai di hadapannya. "Pak Marcel?" panggil Karina. "Marcel!" Marcel terperanjat, "I-iya, Rin? Duh, sorry. Kamu bilang apa tadi?" ucapnya sambil mengusap kasar wajahnya. "E-enggak, cuman jadwal meeting hari ini." Karina bisa lihat wajah Marcel yang seperti sedang di liputi oleh masalah. Karina tak mau memperpanjang nya karena akan berujung masalah lagi. "Istirahat dulu, Cel. Lo gak perlu mendem semua sendiri sampe gila kayak gitu!" ucap Karina asal sambil berjalan keluar ruangan karena sudah jam makan siang. "Kak Karina!" Karina menoleh perlahan karena tak mau nampan berisi nasi dan lauk pauknya jatuh, oh itu Kayla. "Makan bareng, yuk!" ajaknya. Karina tersenyum tipis seraya mengangguk dan berjalan menuju kursi yang kosong. Sepertinya baru Kayla saja yang menjadi temannya di perusahaan ini, tapi itu lebih baik dari pada tidak punya teman sama sekali. Kayla melahap satu sendok nasi penuh dengan irisan daging. "Hari ini gimana kak? Usb yang aku kasih bermanfaat gak?" tanyanya dengan mulut penuh. "Lumayan, Kay. Cuman si Marcel itu kenapa hari ini telat, ya? Emang biasanya telat?" tanya Karina penasaran. Kayla menelan kunyahan di mulutnya, "Enggak, sih, Kak. Kak Marcel eh maksudnya Pak Marcel biasanya rajin kok." "Kak Marcel?" "I-itu, aku emang sering manggil gitu ke tiap karyawan, tapi enak kan, biar gak canggung," ucapnya penuh dengan penjelasan. Karina mengangguk singkat. "Terserah kamu deh, Kay. Dan pastinya semua di perusahaan juga pasti seneng bisa kenal sama kamu." "Seneng? Kenapa?" "Ya, seneng aja. Kamu itu orangnya asik, dan gampang banget buat nyeritain keseharian kamu," balas Karina. Kayla terkekeh pelan, "Gitu, ya?" Karina mengangguk semangat. Kemudian bertos ria dengan Kayla yang terlihat sangat bahagia melalui ukiran senyum di wajahnya. ¤¤¤Marcel mengusap kasar wajahnya. Ia tak henti-hentinya menatap layar ponsel yang hening. "Ayo dong telepon," ucapnya. Marcel menyerah, ia sandarkan punggungnya dan menenangkan kembali dirinya. Semakin ia coba untuk tenang, maka semakin gelisah juga dirinya. "Pak Marcel!" Perhatian Marcel teralih, ia lihat Karina yang tengah siap dengan beberapa map di tangannya. Marcel mengangguk dan ikut berjalan bersama Karina menuju ruang meeting. Mereka masuk ke ruangan meeting, kedatangan keduanya telah di tunggu cukup lama. "Maafkan atas keterlambatan saya," ucap Marcel saat masuk. "Tenang saja, Pak. Kami paham kok jika Bapak sibuk akhir-akhir ini." "Baik, kalau begitu. Pertama-tama saya ingin memperkenalkan sekretaris pribadi baru saya." Marcel sedikit mendorong Karina untuk berdiri sejajar dengannya. Merasa kurang nyaman, Karina hanya mampu tersenyum kikuk. "H-halo, Selamat siang semuanya. Nama saya Karina Megaswara, salam kenal!!" serunya penuh semangat. Semua orang yang ada di ruangan bertepuk tangan akibat takjub melihat kobaran api semangat dari Karina. "Saya Daniel, Asisten manager di sini," ucap seorang laki-laki yang langsung mengulurkan tangannya saat Karina hendak menyapa yang lainnya. Karina menerima jabatan tangan Daniel. "Salam kenal, ya." Karina tersenyum dan mulai membuka meeting."Terima kasih atas kedatangannya." Marcel menjabat tangan setiap orang yang hendak keluar setelah meeting selesai."Terimalah ini sebagai tanda terimakasih dari saya. Hanya kopi, tapi semoga bermanfaat, ya." Marcel dan Karina membagikan kopi kepada seluruh partner meeting. "Pak Marcel baik banget, padahal yang hadir lumayan banyak loh, Pak." "Eh tidak apa-apa, ini saya bawakan lagi takutnya ada yang tidak kebagian," ucap Kayla sembari membawa beberapa kopi lagi. "Tapi bukankah terlalu berlebihan jika uang perusahaan dipakai untuk barang yang tidak terlalu penting?""Tenang saja, ini pakai kartu kredit pribadi Pak Marcel!" ujar Kayla kegirangan. Setelah beberapa yang hadir meninggalkan ruangan, kini tinggal Marcel dan Karina juga tamu lainnya yang masih bersiap-siap atau hanya sekedar mengobrol dengan sesama. "Pak Marcel baik-baik saja kan?" tanya salah seorang di sana. Marcel tersentak. "Saya baik, tenang saja. Sepertinya akhir-akhir ini saya hanya kurang tidur saja," ucap Marce
Karina terus terduduk di depan pintu kamarnya. Ia tak mau siapapun masuk ke kamarnya saat ini. Termasuk ibunya. Sudah hampir 2 jam ia terdiam dengan pipi yang terus membasah. Karina sudah tak bisa menyeka air mata dengan tangannya sendiri. Selama ini, dirinya hanya mencoba tegar dan menerima semuanya. Ia mencoba untuk terus diam terhadap semua perlakuan ayahnya pada dirinya juga pada ibunya.Karina terlalu lemah. "Padahal semua udah mulai baik-baik aja, kenapa sih masalah datang lagi!? Padahal gue udah mulai nyaman kerja di tempat musuh gue! Padahal..." Karina kembali menangis dalam diam. Dadanya kembali terasa sesak. Ia tak punya siapapun, dirinya tak punya pegangan untuk kembali melangkah. Karina terlalu hancur untuk kembali membuka mata dan melihat dunia. Malam itu, Karina malah mengingat lagi kejadian yang sama sekali tidak ingin ia kenang. Kenangan yang terus membuat luka di benaknya. Perceraian kedua orang tuanya. Flashback On"Ma, kenapa kita pindah?" tanya Karina pada ibun
Karina mengusap wajahnya kasar, pagi ini ia sangat dibuat frustasi oleh keadaan. Gadis itu tak bisa berhenti memandangi dirinya di cermin. Cara satu-satunya yang bisa ia lakukan adalah menghubungi Kayla. "Halo, Kay!" panggil Karina. Kayla di seberang telepon menjawab, "Eh iya Kak? Tumben telepon ada apa?" "Itu, anu.. Kalo izin gak masuk kerja bisa gak?" "Oh, kalo itu biasanya langsung Kak Marcel yang handle. Jadi Kak Karina langsung hubungi Kak Marcel aja." Karina terdiam. "Oh, gitu, ya?" tanya Karina sambil terkekeh kaku. Karina menutup sambungan telepon dan kembali memikirkan nasib hidupnya selanjutnya. Ia menghela nafas berharap jika apa yang terjadi kemarin hanyalah mimpi semata. Karina pergi ke kamar mandi yang menyatu di kamarnya. 30 menit telah berlalu, Karina datang ke ruang makan hendak menyantap sarapannya. Ia tersenyum saat melihat punggung sang ibu. Namun senyumnya kembali pudar saat seseorang melempar tatapan ke arahnya. "Lo! Ngapain di sini!?" tanya Karina kaget
Karina menghela nafasnya setelah Ridwan mematikan sambungan teleponnya. Ia kemudian kembali duduk. "Siapa kak?" tanya Kayla. Bisa Kayla lihat perubahan suasana hati Karina yang memburuk. "Oh, itu... Keluarga," ucap Karina. Tentunya ia tak boleh membawa masalah pribadinya ke tempat kerja. Hanya cara yang Ridwan katakan lah yang bisa ia lakukan. "Aku mau rekomendasiin karyawan baru, itu langsung bilang ke Marcel, 'kan?" Kayla mengangguk, tak lupa ia meneguk kopinya. "Iya kak, langsung aja. Biar Pak Marcel tahu dan langsung ngasih surat persetujuan atau tidak," balas Kayla. "Marcel lagi ada dimana sekarang, ya?" "Biasanya ada di ruang pribadinya kak. Kakak coba cek aja." Karina mengangguk dan langsung melangkahkan kakinya. Aneh, padahal hanya akan bertemu dengan atasannya. Tapi kenapa hatinya jadi lebih senang seperti ini. Namun sedetik kemudian, semua rasa senang itu Karina usir jauh-jauh. "Dia itu pacar Kayla, Rin! Inget! Gak baik deketin pacar orang!" gumam Karina di depan pintu
Karina mengendus kesal setelah menghabiskan sebagian waktu malamnya untuk lembur. Dia menaruh tas kerjanya di meja rias lalu dengan buru-buru membaringkan tubuhnya di atas ranjang. “Aku merasa lelah hari ini, tetapi kenapa aku masih mau lanjut kerja di sini. Aku tidak tahu kenapa pikiranku berubah. Di awal aku ingin membuat Marcel memecatku tetapi makin ke sini tidak bisa dipungkiri kalau aku sudah cukup nyaman di tempat kerja, di sisi lain juga aku masih butuh uang untuk beberapa list harapanku sendiri,” gerutu Karina sambil memegang pelipisnya karena merasa sedikit pusing. Pandangan yang diarahkan ke langit-langit kamar itu seketika membuat Karina menatap sayu. Matanya pun kini mulai bergerak lambar hingga dirinya tertidur. Bayangan yang ada di pikirannya pada saat itu adalah soal Marcel yang masih saja mengacaukan hari-hari kerjanya. Kebersamaan yang tak terduga sebelumnya itu mengantarkan Karina hanyut dalam bayangan masa lalu saat masih bersama dengan Marcel sewaktu sekolah.
Di kamarnya, Luna berusaha untuk menyiapkan berkas yang sudah diminta oleh Karina. Dia berusaha menyusun semua berkas tersebut dengan rapi, tentu harapannya agar dirinya bisa segera dilirik oleh pimpinan perusahaan yang tak lain adalah Marcel.“Hm, yang aku tahu sih Marcel itu teman sekolah Kak Karina, dulu. Bikin penasaran aja sama nama itu,” ucap Luna menerka sambil mengedarkan pandangannya ke langit-langit kamar.Ada beberapa lembar kertas hasil print yang sudah dia siapkan sebelumnya karena beberapa menit yang lalu, printer miliknya sempat mengalami masalah sehingga harus beberapa kali mencetak kertasnya.Luna memasukkan surat lamaran dan berkas yang dibutuhkan ke dalam amplop coklat dan menaruhnya di atas meja.Sempat terlintas dipikirannya bahwa Karina berhasil tembus di perusahaan besar itu tidak lain karena pemilik perusahaan itu adalah teman sekolahnya dulu.“Aku heran, tapi apa yang aku pikirkan bisa jadi benar. Kemungkinan besar pasti karena teman sekolah, jaman sekar
“Bodoamat! Tugasku cuma nganterian dia sampe sini. Selebihnya, aku sih terserah dia!” gerutu Karina.Setelah masuk ke dalam ruangan miliknya, Karina kini meletakkan tasnya dan menghela napas lega. Seolah dirinya tengah dikejar oleh sosok penguntit yang membuatnya ingin merasa kabur.Beberapa menit yang lalu, dia sudah mendapat konfirmasi dari Luna kalau dirinya sudah melakukan sesi interview dan dalam proses pengecekan oleh pemilik perusahaan.Itu artinya Marcel sedang berada di ruangan HRD bersama mereka dan itu terbukti ketika Karina masuk ke dalam ruangannya ternyata tidak ada Marcel.“Yang penting tugas Gue sudah selesai yah, mau dia diterima atau tidak itu mah bukan kendali Gue!” ucapnya sambil membuka laptopnya.Ada beberapa hal yang membuat Karina merasa malas jika bertemu dengan Luna dalam satu tempat kerja. Tentu hal yang pasti adalah sifat buruk Luna yang bisa saja menjadi ular yang berbisa.Entah apa tujuann adik tirinya itu begitu ingin masuk ke perusahaan yang dia
Karina tiba-tiba ingat kalau dirinya juga tengah melupakan omongan Kayla yang kepo tentang Luna. Sambil mengunyah makanan yang ada di mulutnya, dia pun berusaha untuk berhati-hati dalam bicara.“Iya, seperti yang kamu bilang pas pagi tadi. Dia kan emang ngga ada sangkut pautnya sama loker yang ada di sini, toh emang tutup,” jawab Karina seadaanya.“Terus?”“Dia itu adik Gue. Kebetulan pas itu emang udah sempat nanya ke Marcel apa memang masih ada divisi yang membuthkan atau tidak dan ya ternyata masih ada,” lanjut Karina.Kayla sangat antusias mendengar Karina menjelaskan bahwa itu adalah adiknya. Sampai akhirnya dia pun merasa senang karena bisa jadi dia tidak hanya berteman dengan Karina saja, tetapi juga adiknya yang bisa bersama-sama di satu meja makan ketika jam istirahat tiba.“Divisi purchasing?” tanya Kayla mengulang pertanyaannya.Karina hanya mengangguk tanpa mengeluarkan kata sepatah pun. Dia menyingkirkan tempat makan yang sudah dilahap habis sedari tadi.Begitu juga dengan