Hasan pov.
Aku membencinya, membenci anak dari wanita gila yang dulu hampir pernah menghancurkan rumah tangga kedua orang tuaku. Mengapa aku bisa tau? Hal ini tak sengaja aku dengar dari para orang tua yang saat itu saling bercerita.
Awalnya aku tidak membenci Ayesha, tapi semenjak mengetahui itu amarahku naik begitu pesat setiap kali melihatnya hingga sebuah ide jahat muncul di pikiranku.
Entah karena tengah di liputi oleh amarah dan kebencian aku membelenggu dirinya ke dalam sebuah ikatan hubungan gila yang sudah ku rencanakan. Lewat menjebak dirinya dalam satu malam yang sengaja ku lakukan membuatnya terpaksa menjadi budak ku, dan aku menjadi tuannya.
Budak yang harus selalu mau menuruti segala keinginan dan perintahku, apapun itu ia harus selalu mematuhinya. Kalau tidak maka dia akan mendapatkan akibatnya dari penolakannya tersebut.
Hingga tanpa terasa dan sadari, hubungan gila ini sudah berjalan dua tahun. Dan selama itu pula semuanya berjalan baik-baik saja, untukku. Entahlah untuknya, aku tidak tau dan tak mau tau. Tapi, semakin kesini aku semakin sulit dan tak ingin melepaskannya. Padahal aku sudah berjanji jika akan melepaskannya saat aku sudah bosan, sialnya meskipun aku membencinya tapi entah kenapa kata bosan itu tak pernah hadir untukku.
Kadang aku bertanya-tanya sendiri kenapa diriku sama sekali tidak merasa bosan padanya. Padahal aku orangnya mudah bosan pada sesuatu, apalagi soal urusan wanita. Banyak hati yang sering ku sakiti karena sikap mudah bosanku ini. Tidak perlu ku jelaskan satu-persatu nama-nama wanita yang pernah mengisi hari-hariku sebelum Ayesha. Karena jika aku menjabarkannya kemungkinan akan menjadi daftar list yang panjang.
Aku rasa aku yang seperti ini menuruni sifat papa Dava yang ku tau dulunya beliau di kenal sebagai lelaki yang memegang tangguh predikat playboy akut.
Entahlah, aku tidak tau kapan waktunya akan melepaskan Ayesha dari jeratan belenggu menyakitkan yang ku buat sendiri. Menyakitkan untukku yang tak pernah bisa berhenti membencinya, dan menyakitkannya yang sudah berulang kali mengatakan lelah dengan semuanya ini.
******
Tubuhku menegang kaku begitu mendengar ucapan wanita yang kini tengah duduk di sampingku. Sungguh terkejut dan tak menyangka jika Ayesha akan mengatakan kebohongan seperti itu di depan ayah dan paman Ridwan.
Tadi niat awalnya aku memang inginkan mengatakan yang sebenarnya pada ayah dan juga paman Ridwan. Karena ku pikir, aku sudah terlalu sangat jahat dalam memperlakukannya. Bahkan aku sudah siap menerima segala resikonya apabila rahasia mengerikan ini terbongkar langsung dari mulutku sendiri.
Tapi, sayangnya apa yang aku harapkan sepertinya berbanding terbalik dengan Ayesha. Gadis yang sudah tak lagi gadis ini malah mengatakan kebohongan yang aku sendiri tak tau apa maksudnya bicara seperti itu.
Seharusnya kan, ini kesempatan baginya agar terlepas dari belenggu menyakitkan yang ku buat ini. Lalu mengapa ia malah berdusta seolah sedang melindungi nama baik ku dari para orang tua ini.
Dan bahkan yang lebih membuatku sangat syok adalah ketika Ayesha mengatakan jika ia merasa aman dan nyaman ketika bersamaku. Merasa terlindungi saat di sisiku, padahal sejatinya yang aku tau dia malah sering merasa ketakutan saat bersamaku. Bahkan kerap kali sering menangis meminta dan memohon dengan sangat untuk terlepas dari jeratan menjadi slave—ku.
Lalu, apa sekarang ini? Apa maksudnya dia bertingkah seperti ini.
"Kau mempermainkanku ya?" tanyaku ketika kami berdua sudah selesai di interogasi oleh ayah dan paman Ridwan.
Saat ini kami tengah berjalan bersisian keluar dari rumahku, langkah tiap langkah kami seakan kompak mensejajarkan diri. Belum aku selalu berjalan cepat dan lebih dulu darinya, tapi entah kenapa kali ini aku ingin terlihat santai dengan berjalan pelan beriringan dengannya.
Ayesha menoleh ke arahku dengan pandangannya yang terlihat bingung. "Mempermainkanmu? Maksudnya?"
Aku menghentikan langkahku yang juga di ikutinya secara mendadak. Aku balas membalikkan badan melihat ke arahnya.
"Semua perkataan dustamu barusan." ucapku mengingatkan dia lagi pada kata-katanya beberapa menit yang lalu di dalam sana.
Ku tatap lekat bola matanya yang tampak bergerak gelisah kesana-kemari, sepertinya ia takut jika seseorang mendengar ucapanku.
"Jawab!" tuntut ku dengan intonasi suara yang nyaris membentak.
"Kecilkan volume suaramu Hasan, bagaimana jika ada yang mendengar?" kata Ayesha yang semakin terlihat panik dengan bola mata yang masih memindai ke segala arah.
"Memang kenapa jika ada yang mendengar, huh?" tanyaku sengaja memancing dirinya. Sungguh aku tidak mengerti dengan jalan pikirannya.
"Sudahlah, aku ingin pergi ke kantor saja."
Ayesha berbalik badan meninggalkanku, ia berjalan lebih dulu dan masuk ke dalam mobil. Sementara aku masih berdiri terpaku memperhatikannya hingga dengan segala pemikiran yang berkecamuk dalam kepalaku.
"Wanita memang sangat aneh," dengusku seraya melangkah menyusul Ayesha yang pastinya sudah duduk nyaman di dalam mobil.
Malam hari, jam pulang kerja dari kantor Ayesha langsung memutuskan untuk pulang ke rumah dengan gerakan terburu-buru mengindari Hasan.Namun sepertinya Tuhan sedang tak berpihak padanya, jadi meskipun Ayesha sudah berusaha untuk bergerak cepat menghindari Hasan. Nyatanya pria itu lebih dulu menemukannya."Menghindariku?" tanya Hasan dengan senyumsmirknya.Menelan ludah kasar Ayesha menggelengkan kepalanya, menjawab dengan terbata. "T-tidak."Lagi-lagi Hasan menyeringai, merasa lucu melihat Ayesha yang tengah mencoba menipunya. "Kau tidak pandai berbohong Ayesha." cibirnya tersenyum sinis mengejek Ayesha.Ayesha mengerjapkan matanya sebanyak beberapa kali, merasa tak bisa mengelak akan tuduhan Hasan yang mendasar itu. Memang benar adanya jika Ayesha tengah berdusta."Kau ingin pulang?" tanya Hasan lagi saat melihat Ayesha hanya diam. "Ayo pulang bersamaku." ajak H
"Turunlah, sepertinya malam ini aku harus merelakanmu tidur di rumah. Karena tak mungkin bagiku membawamu ke apartemenku, maka itu akan semakin menimbulkan kecurigaan." kata Hasan masih dengan tangannya yang membelai rambutku.Aku mengangguk sebagai tanda setuju pada apa yang di ucapkannya, Hasan melepaskan tangannya dari kepalaku. "Turunlah," titahnya sekali lagi.Tak membuang waktu lebih lama lagi karena takut Hasan berubah pikiran, aku turun dari dalam mobilnya."Terima kasih sudah mengantarku," ucapku sebelum menutup pintu mobilnya.Hasan hanya menganggukkan kepalanya sebagai jawaban dari rasa terima kasihku padanya. Setelahnya ia menghidupkan mesin mobilnya dan melaju dengan kecepatan sedang.Aku menatap kepergian mobil Hasan yang perlahan menjauh dari perkarangan rumahku, mobilnya hilang di telan tikungan. Setelahnya aku lalu melangka
"Jangan salah paham mengenai ucapan bapak yang tadi, nak." ucap bapak memulai pembicaraan setelah kami berdua sudah selesai menyantap makan malam.Saat ini kami berdua tengah berada di ruang tamu sembari duduk menonton televisi yang memang tersedia langsung di ruangan ini. Berhubung karena rumah sederhana kami yang minimalis ini tentu tak memiliki cukup banyak ruang, sehingga kami berdua memutuskan untuk menaruh televisi di ruang tamu. Jadi, ketika ada tamu yang datang maka mata mereka akan langsung di suguhkan dengan siaran televisi.Aku yang tertawa karena begitu menghayati tayangan yang menampilkan acara lawak pun teralihkan oleh ucapan bapak barusan. Ku tolehkan kepalaku ke arahnya, "ucapan yang mana ya pak?""Tentang kedekatan kalian berdua yang sering kami perhatikan selama ini. Ayesha, tentu itu semua murni karena persaudaraan kan nak?"Ayesha mengangg
Hari ini Ayesha melakukan pekerjaannya seperti biasa, yaitu menjadioffice girldi perusahaan milik keluarga Wicaksana. Ya, meskipun sudah cukup lama bekerja disana tetapi Ayesha tetap bertahan pada posisi og. Dengan telaten Ayesha mengepel seluruh lantai di tiap lantai perusahaan ini di bantu dengan teman yang seprofesi dengan dirinya."Owalah mbak'e cantik-cantik kok betah banget jadi og sih." kata Asep selaku ob di perusahaan ini menyapa Ayesha.Ayesha tersenyum, "owalah Kang Asep, ganteng-ganteng kok mau jadi ob." balas Ayesha yang mengundang gelak tawa dari Asep."Satu sama berarti kita iki Mbak yu.""Ayesha Kang Asep, bukan Mbak yu," goda Ayesha sengaja."Lah, kepiye sih Mbak. Pinter ngelawak juga ternyata." kata Asep tersenyum geli pada Ayesha."Lama-lama berteman satu profesi dengan kamu membuat saya jadi pinter segala hal Kang Asep.""
Aku menegang mendengar ucapan Hasan barusan. Apa katanya? Aku bisa mengunci pintu ruangannya terlebih dahulu agar tak ada orang lain yang bisa masuk dengan mudah.Gila! Memang dia pikir aku mau menuruti segala keinganannya, begitu?Aku yang tadinya sudah memegang gelas berisi kopi hitam itu di tanganku pun perlahan kembali meletakkannya ke meja kerja Hasan."Maaf Pak, saya masih banyak kerjaan." kataku beralasan agar bisa keluar dari situasi seperti ini, dan dengan profesionalnya aku bersikap sopan berbicara formal sehingga panggilan untuknya pun pak. Aku masih waras yang tentu saja masih mengingat ini kantor, bukan kamar untuk bercinta.Setelah mengatakan itu dengan cepat dan terburu-buru aku melangkah menuju pintu, tapi sialnya dengan sigap Hasan menggapai tubuhku duluan. Pria itu mendekapku dari belakang dengan kedua tangannya yang melingkari pinggang dan perutk
Hasan mendapatkan pesan singkat dari ayahnya, Nando, yang menyuruhnya setelah pulang dari kantor nanti langsung menemuinya. Di pesan tersebut Nando juga mengatakan bahwa dia akan mengumpulkan seluruh anggota keluarga sebab ada sesuatu hal yang ingin dia katakan.Dalam benaknya, Hasan bertanya-tanya sendiri. Ada hal apa yang ingin papanya itu katakan, apakah mungkin sesuatu hal yang serius? pikir Hasan sembari mengendikkan kedua bahunya pertanda ia tak mau ambil pusing, dan semoga saja ini bukan sesuatu hal serius yang mengerikan.Ya, mengerikan untuk di dengar.Hasan meletakkan kembali ponselnya ke meja kerja, pikirannya kembali terlintas pada kejadian beberapa saat yang lalu ketika Ayesha yang tampak begitu sangat marah dan berani menggamparnya.Hasan tidak mengerti dimana letak kesalahannya, menurutnya ia hanya melakukan naluri sesuai insting kata hatinya. Memberikan setiap bulan uang ke rekening Ayesha menu
Tubuh Hasan mendadak menegang secara tiba-tiba ketika Nando dan Ridwan telah mengatakan maksud dan tujuannya yang ingin mengumpulkan anggota keluarga. Yaitu, membahas tentang rencana perjodohan yang akan mereka lakukan untuk Ayesha dengan pria yang merupakan anak dari rekan bisnis Nando.Tak hanya Hasan, bahkan Ayesha juga syok dan menegang mendengarnya. Pasalnya selama ini baik bapaknya sendiri maupun ayah Nando, tidak ada yang mengatakan lebih dulu padanya. Makanya itu jelas saja jika Ayesha terkejut bukan main."Apa? Perjodohan untuk Ayesha dan anak dari teman bisnis Ayah?" ulang Hasan berharap pendengarannya salah.Namun sayang beribu sayang, itu hanya harapan semu belaka Hasan saja karena kenyataannya benar ketika Nando menganggukkan kepalanya."Hasan, kamu tau kan nak dengan Adnan anaknya Pak Raswan—""Tidak!" sentak Hasan cepat memot
Mengendarai mobilnya secara gila-gilaan adalah hal yang tengah Hasan lakukan saat ini. Pria itu seperti kerasukan jin tomang hingga nekat bertindak gila seperti itu, ngebut di jalanan yang untungnya tampak lenggang malam ini.Hasan terus memacu mobilnya ke suatu tempat yang menjadi tujuannya saat ini. Tanpa rasa takut sedikitpun Hasan malah terlihat santai mengemudi tanpa beban, seolah ia tak memikirkan jika kemungkinan saja kecelakaan bisa terjadi menimpanya lalu kemudian merenggut nyawanya.Tapi, syukurlah sepertinya Hasan memang masih panjang umur terbukti kini ia telah sampai ke tempat tujuannya. Yaitu, club malam.Tempat yang menurut Hasan dapat mengembalikan mood buruknya dari segala penat, masalah, gelisah dan ke frustasiannya.Ini gila!Kenapa dirinya menjadi menggila begini setelah mendengar jika Ayesha akan di jodohkan dengan pria lain. Seharusnya ia merasa senang bukan?