Semua terdiam mendengar pertanyaan yang lolos dari mulut Altair. Tentu semua tahu pertanyaan itu di arahkan untuk siapa meski Altair tidak menyebutkan nama.
“Siapa pria itu.. Aquila Minami?” desis Altair merendahkan suaranya.
“Di.. dia sahabatku.” gumam Aquila lirih tidak berani menatap Altair. Gadis manis itu takut mendengar nada rendah pria yang beberapa bulan ini tinggal bersamanya. Selama mereka tinggal bersama belum pernah sekalipun Altair menggunakan nada rendah untuk berbicara padanya, sekalipun Aquila membuat kesalahan Altair tak pernah marah padanya. Nada rendah Altair benar-benar mengintimidasi Aquila.
“Jadi kami semua yang ada disini boleh mencium bibirmu seperti tadi, bukankah kami juga sahabatmu?”
Hening.
Semua orang terdiam mendengar pertanyaan Altair. Aquila menatap Altair tak percaya. Entahlah, tapi pertanyaan Altair membuatnya merasa sedang dilecehkan secara verbal. Gadis itu malu dan marah, sedih tentunya karena kata-kata itu keluar dari mulut orang yang sangat ia percaya.
“Altair itu tidak lucu!” Ryota memperingatkan, “Itu benar-benar tidak lucu!” Ulangnya.
Arghhhh
Altair mengusap wajahnya kasar, ia sadar sudah mengatakan hal yang tidak seharusnya. Ia beranikan diri melihat ekspresi seperti apa yang Aquila pasang sekarang dan betapa Altair lebih merasa bersalah karena di sana Aquila terlihat sangat tersinggung dengan ucapannya, bahkan iris coklat madu gadis mungil itu sudah retak. Tak ingin ada yang melihatnya menangis, Aquila memejamkan matanya kuat-kuat berharap kristal bening itu tidak keluar tanpa ijin.
“Aquila.” panggil Altair hati-hati.
“Aquila ak-“
“Aquila.. mendadak tenggorokanku kering sekali, ayo temani aku mencari air ke bawah!” Arata memotong ucapan Altair. Tanpa menunggu persetujuan dari Aquila, Arata menggandeng tangan gadis manis itu menjauh, diikuti Emilia di belakangnya.
“Sebenarnya apa yang terjadi pada kalian? Ini bukan kau yang biasanya.” tanya Naoki serius.
“Dia.. Aquila berciuman dengan seorang pria.” Altair berujar lirih. Ryota dan Naoki saling pandang, sedikit tidak percaya apa yang mereka dengar karena setahu mereka Aquila seperti ada rasa dengan Altair jadi tidak mungkin dia melakukan hal itu dengan orang lain.
“Are you sure?” tanya Ryota meyakinkan.
“Aku melihatnya dengan kepalaku sendiri!”
“Hei.. jadi sebenarnya kau ada rasa dengan anak itu bukan?”tanya Naoki.
“Aku tidak!” sanggah Altair ragu.
“Oh ayolah.. kalau kau memang tidak ada perasaan pada anak itu, kau tidak punya alasan untuk marah padanya. Itu hak dia untuk berkencan dengan siapapun!” Ryota menjelaskan, ia sedikit jengkel dengan Altair yang tidak berani mengakui perasaannya untuk Aquila. Tidak ada jawaban, Altair mencoba mencerna kata-kata Ryota. Apa benar dia punya perasaan pada gadis itu.
Sementara itu Arata dan Emilia sedang menenangkan Aquila. Aquila adalah tipe orang yang akan memikirkan suatu hal dengan sangat dalam dan mereka tidak ingin itu. Mereka tidak ingin Aquila terbebani dengan ucapan Altair tadi.
“Jangan terlalu difikirkan kata-kata Kak Altair yang sedang marah, aku yakin dia tidak bermaksud seperti itu padamu.” Arata berkata pelan.
“Tapi aku yang membuatnya marah.” desah Aquila.
“Kalian tidak berkencankan? Jadi itu hakmu untuk berkencan atau bahkan untuk berciuman dengan siapapun. Kak Altair tidak bisa melarangmu tentang itu.”
“Bukan seperti itu Emilia!”
“Lalu seperti apa?” tanya Emilia.
“Emilia, sudahlah!” Arata menengahi kedua sahabatnya itu.
***
Sudah berjalan tiga minggu sejak kejadian yang tidak mengenakkan itu. Altair belum minta maaf pada Aquila dengan benar, Aquilapun masih enggan untuk menyapa Altair terlebih dahulu. Ia masih sedikit malu dan kecewa pada Altair, ia ingin menjelaskan siapa pria yang dulu kedapatan berciuman dengannya namun Aquila merasa ia tak punya kewajiban untuk mengatakannya.
Meskipun ia tak ingin Altair salah paham tapi disisi lain saat dia menjelaskannya itu terlihat seperti antara dia dan Altair ada sebuah hubungan lebih.
Altair sendiri merasa ada yang aneh dengan dirinya, bagaimana mungkin dia bisa marah melihat Aquila dengan pria lain, bukankah itu bukan urusannya, bukankah Aquila bebas untuk berkencan dengan siapapun yang dia inginkan?
Altair tidak suka perasaan tidak menentu seperti itu. Jadi mereka berdua sama-sama memilih untuk menjaga jarak terlebih dahulu untuk sementara waktu. Meski kenyataanya mereka merindukan interaksi seperti dulu.
Entah keberuntungan atau kesialan, keadaan mendukung mereka untuk saling menjauh, Altair benar-benar sibuk dengan pekerjaannya. Dia akan berangkat pukul setengah delapan pagi dimana itu masih jam tidur Aquila dan akan pulang pukul sembilan atau sepuluh malam dimana Aquila belum pulang ke rumah.
Sementara Aquila tak kalah sibuk dari Altair, Aquila memulai aktivitasnya sekitar pukul sembilan. Sampai sekitar pukul dua siang untuk kuliah dan dilanjut akan bekerja dari pukul lima sore sampai kafe itu closing pukul satu dini hari.
Disela-sela waktu kuliah dan bekerjanya ia gunakan untuk mengerjakan tugas-tugas sebagaimana mahasiswa tingkat akhir. Ya, ini tahun terakhir Aquila kuliah. Jadi dia akan sampai rumah sekitar pukul dua atau tiga dini hari saat Altair sudah lelap dalam tidurnya.
Jika dulu ia bekerja hanya sabtu dan minggu, maka sekarang ia bekerja full time enam hari seminggu sejak ayahnya menghentikan aliran dana yang ia berikan untuk Aquila. Dengan tujuan agar putrinya itu mau kembali pulang ke rumah. Dan Altair belum mengetahui itu semua.
Seperti pagi-pagi biasanya Altair keluar dari kamarnya pukul enam pagi, ia bergegas menuju dapur untuk membuat sarapan sederhana. Mengambil empat slice roti tawar lalu ia masukkan kedalam toaster sembari membuat dua gelas susu hangat.
Setelah toasternya berbunyi tanda rotinya sudah terpanggang sempurna Altair mengambilnya dan mengolesi roti tadi dengan selai coklat kesukaan Aquila. Dua slice ia makan dan dua slice lagi ia wraping untuk sarapan Aquila nanti.
Ya, meskipun mereka sudah jarang sekali bertemu meski satu rumah tetapi Altair selalu membuatkan Aquila sarapan, juga kadang makan malam jika dia tidak terlalu lelah setelah pulang kerja.
Aquila, ini sarapan mu.
Kau harus menghabiskannya!
Have a great day!
Ahh.. jangan lupa dipanaskan, kau tinggal memasukkannya ke dalam microwave.
Altair menuliskan memo sederhana lalu menempelkannya didekat sarapan yang sudah ia siapkan untuk Aquila. “Baiklah sekarang waktunya kerja!” ujar Altair pada dirinya sendiri.
Kamar Aquila terletak bersebelahan dengan dapur dan Altair selalu menyempatkan diri untuk membuka kamar Aquila sekejap, hanya sekedar ingin memastikan jika gadis manis itu masih tinggal dengannya.
Senyum Altair menggembang tiap kali mendapati sosok Aquila yang masih terlelap dengan badannya yang terselimuti bed cover tebal sampai di ujung kepala, hanya menyisakan sedikit rambutnya yang menyembul keluar.
***
Suara alarm membangunkan Aquila dari tidurnya, dilirknya jam yang berada di atas meja nakas sudah menunjukkan pukul delapan lebih lima belas menit. Dengan malas ia bangun dari ranjang empuk itu, hari ini jadwal kelasnya padat, belum lagi ini malam minggu jadi pasti kafe akan sangat ramai, baru membayangkannya saja sudah membuat Aquila malas.
Dengan segera rasa malas itu ia buang dan diganti dengan perasaan semangat, ia harus menujukkan pada asang ayah jika dia tetap bisa hidup layak tanpa bantuan darinya. Dia tidak akan menyerah untuk itu.
Aquila langkahkan kakinya menuju dapur, penasaran dengan menu sarapan apa yang Altair buat pagi ini. Kebiasaan yang tidak pernah Altair lupa tiap paginya. Meski itu hanya sarapan sederhana tapi Aquila sangat senang menerimanya karena dengan kata lain pria itu masih peduli padanya. Dan itu satu-satunya alasan kenapa Aquila masih bertahan untuk tinggal di apartemen kakak sepupu Arata ini.
“Roti panggang dengan susu.” gumamnya melihat sarapan pagi ini, senyumnya mengembang tulus.
Ia baca note kecil yang ada di samping piring roti, tersenyum kecil dengan kalimat sederhana yang tertulis di sana. Menuruti perkataan Altair ia memasukkan sarapannya ke dalam microwave lalu mengambil pen untuk membalas note dari Altair.
Kak, selamat malam..
Bagaimana hari ini?
Terima kasih untuk sarapannya, lain kali aku akan membuatkanmu makan malam sebagai gantinya.
Tapi aku tidak berjanji, hehe..
Sleep tight!
Aquila tahu Altair akan membacanya saat malam jadi alih-alih mengucapkan selamat pagi dia lebih memilih mengucapkan selamat malam. Selesai menulisnya ia tempelkan note tadi di pintu kulkas.
Seperti hari-hari sebelumnya Aquila tengah sibuk melayani pelanggan di kafe tempatnya bekerja usai menyelesaikan kuliah, sesuai dugaan malam ini banyak sekali pelanggan yang datang. Didominasi oleh pasangan muda-mudi. Apalagi jika bukan untuk melihat live music yang sebentar lagi akan berlangsung.
Aquila berjalan ke arah dapur setelah menghantarkan makanan para pelanggan sebelum langkahnya dihentikan oleh seorang laki-laki yang kini tengah menggenggam tangannya erat. Aquila membalikkan badannya, terkejut melihat sosok orang yang sudah membuat Altair marah padanya.
“Apa yang kau lakukan di sini?” desis Aquila, ia mencoba melepaskan genggaman laki-laki itu yang sialnya begitu kuat.
“Aquila aku hanya ingin minta maaf padamu!” seru pemuda tadi.
“Aki, aku bilang lepaskan!” Aquila merendahkan suaranya, tidak ingin pelanggannya terganggu dengan pertengkaran tidak penting mereka. Laki-laki yang diketahui bernama Aki itu melepaskan genggamannya dari Aquila.
“Ikut aku!” Gadis manis itu mengisyaratkan Aki untuk menggikutinya.
“Sekarang katakan apa yang kau inginkan?” ucap Aquila setelah mereka sampai di ruang istirahat karyawan . Aki tidak langsung menjawab pertanyaan Aquila, “Jika kau tidak jadi mengatakan sesuatu, aku pergi!” Aquila sudah menggenggam handle pintu, tidak ada gunanya dia di sini pikirnya.
“Kenapa.. Kenapa kau tidak mengatakan jika kau sudah punya kekasih?” Aki berucap lirih. Aquila berbalik menatap Aki tidak mengerti.
“Pria itu, pria yang memergoki kita dulu adalah kekasihmu bukan?” Lanjut Aki.
“Dia..” Aquila tidak tahu harus menjawab apa. Altair bukan kekasihnya tapi Aquila tidak mau mengakui fakta itu. Ya, Aquila lebih memilih laki-laki ini salah paham saja akan hubungan dirinya dan Altair.
“Kau tinggal mengatakan hal itu, maka aku akan berhenti mengejarmu tanpa meminta permintaan konyol itu.” Aki menatap Aquila datar, ada raut menyesal di wajahnya. Membuat Aquila tidak enak hati karena membohonginya.
“Maafkan aku, maaf karena telah memaksamu! Sampaikan juga permintaan maaf ini pada kekasihmu.” Gumam Aki, ia tersenyum lembut pada Aquila. Aquila hanya mengangguk kecil.
Aki adalah teman masa kecil Aquila sebelum Aquila pindah keluar negeri, mereka masih berhubungan baik meski tidak pernah bertemu sampai akhirnya Aquila kembali ke Jepang. Sejak dulu Aki sudah mempunyai perasaan untuk gadis manis itu tetapi bertepuk sebelah tangan karena Aquila sudah menganggapnya seperti saudara sendiri.
“Kita masih berteman bukan?” Aki mengajukan kelingkingnya, tanpa menunggu lama Aquila menyambut kelingking itu dan menautkannya dengan miliknya.
“Sure!” Senyum Aquila mengembang.
“Kalau begitu aku pergi dulu, don’t over do yourself, princess! Kau terlihat pucat.” ucap Aki sambil mengusap kepala Aquila lembut. Lagi-lagi Aquila hanya mengangguk.
Tidak lama setelah kepergian Aki, sahabatnya masuk, “Siapa pria tadi, aku tidak pernah melihatnya?” Tanya Emilia penasaran, pasalnya dari dulu Emilia tidak pernah melihat Aquila bersama seorang pria kecuali Arata dan sekarang ditambah Altair tentunya.
“Atashi no osananajimi.” jelas Aquila.
“Oh.. teman masa kecilmu.” Emilia tidak ingin bersikap tidak sopan untuk menanyakan lebih. Emilia mendudukkan dirinya di sebelah Aquila. Mereka ingin beristirahat sebentar .
“Dia yang berciuman denganku dulu.” jelas Aquila. Emilia tidak merespon, ia mendengarkan Aquila untuk bercerita terlebih dahulu.
“Aki bilang dia akan menjauh dariku tapi sebelumnya dia ingin berciuman sekali saja dan bodohnya aku menyetujui dan sialnya Altair melihatnya!” gerutu Aquila frustasi. Ia mengacak-acak rambutnya sendiri.“Kenapa.. kenapa kau takut saat Altair mengetahuinya?” Pertanyaan Emilia membuat Aquila terdiam. Ia tidak tahu kenapa ia merasa menyesal karena Altair melihatnya.“Lain kali saja kau beri jawabannya.” Emilia menepuk pundak Aquila pelan. Emilia tahu Aquila sendiri belum menemukan jawaban atas perasaannya sendiri.“Ayo keluar, sepertinya live music sudah selesai!” Ajak Emilia.***“Aquila.. kau bisa mengambil cuti besok, aku tidak tega melihatmu seperti ini.” ucap Emilia di parkiran apartemen Aquila atau lebih tepatnya apartemen Altair. Mereka berdua baru saja pulang bekerja.Emilia mengant
“Aquila, kau ingin makan sesuatu?” tanya Altair setelah sampai di apartemen mereka.“Aku ingin langsung istirahat saja kak.” jawab Aquila lemah. Ia masih merasa pusing, badanpun masih terasa berat. Altair hanya mengangguk, ia memapah Aquila ke kamarnya. Terlihat sekali raut lelah di wajah gadis itu. Altair menidurkan Aquila pelan, menyelimutinya sampai sebatas dada, tidak lupa mengelus surainya lembut.“Tidurlah!” ucap Altair sembari mengusap-usap kuping Aquila pelan. Matanya menatap Aquila lekat. Gadis itu menuruti perkataan pria di sampingnya, ia mencoba memejamkan mata. Aquila yang begitu merasa nyaman akan perlakuan Altair langsung terbawa ke alam mimpi. Ia tidak pernah diperlakukan selembut ini oleh orang lain. Yakin Aquila telah tertidur Altair keluar menuju balkon lalu meraih handphonenya untuk menghubungi seseorang.“Halo Tsuyu, bisakah kau ke apartemenku sekarang? Temank
Altair bersiap secepat yang dia bisa, dari ucapa Ryota pasti ada hal penting yang terjadi di kantor. Tentu Altair tidak ingin sesuatu terjadi pada perusahaan yang dia dan sahabatnya bangun dengan susah payah.Selesai bersiap Altair menghampiri Aquila yang masih berada di dapur, gadis itu terlihat tengah menyesap teh chamomile kesukaannya, “Aquila, aku berangkat ya.” Altair berucap cepat.“Tunggu, aku sudah menyiapkan bento untukmu.” Aquila mengejar Altair yang sedikit lagi mencapai pintu. Ia menyerahkan bungkusan makan siang yang ia siapkan saat menunggu Altair bersiap tadi.“Thanks! Ittekimasu!” ucap Altair, ia menerima bento dari Aquila.“Itterashai!” jawab Aquila, ia perhatikan punggung lebar Altair yang mulai menjauh.Dengan kecepatan tinggi Altair melajukan mobil Audi hitamnya menuju kantor,
“Tadaima!” ucap Altair seraya membuka pintu apartemennya setelah pulang dari kantor. Penasaran karena tidak ada jawaban dari Aquila ia lirik jam yang melingkar di tangannya menunjukkan pukul sembilan malam, tidak mungkinkan gadis itu sudah tidur seawal ini.“Aquila?” Panggilnya lagi.“Kak Altair.. okaeri!” Aquila keluar dari arah dapur dengan celemek yang terpasang.“Maaf aku tidak dengar, aku sedang fokus memasak.” Jelas Aquila. Altair berjalan mendekatinya.“Memangnya sudah sembuh? Kita bisa membeli makanan saja agar kau tidak perlu repot seperti ini.” ucap Altair lembut. Ia usap-usap kepala Aquila pelan.“Kak.. aku pingsan karena kelelahan, bukan karena penyakit mematikan jadi berhentilah terlalu mengkhawatirkanku.” Aquila berkata lembut. Altair hanya mengangguk-anggukkan kepala.“Sudahlah lebih baik k
Hari berganti, Aquila sudah sembuh dari sakitnya dan sekarang dia sudah tidak bekerja fulltime di kafe lagi, Altair benar-benar melarangnya sejak insiden Aquila jatuh pingsan karena kelelahan. Altair yang akan membiayai kuliah Aquila. Tentu saja Aquila menolak pada awalnya. Dia tidak mau merepotkan siapapun, selagi dia masih bisa bekerja dia akan bekerja hingga akhirnya Altair memberikan penawaran yang menurut gadis itu masuk akal. Setelah Aquila lulus kuliah dia harus bekerja untuk perusahaan Altair sebagai cara untuk membayar biaya hidup dan biaya kuliah Aquila yang sudah Altair keluarkan. Sebenarnya Altair tidak mempermasalahkan uang yang harus ia keluarkan untuk Aquila tapi mengingat gadis manis itu tidak akan menerima bantuan nya secara cuma-cuma akhirnya dia memberikan penawaran tersebut. Hubungan mereka berdua pun semakin dekat. Sudah tidak ada lagi rasa canggung di antara mereka. Keduanya sudah seperti kakak beradi
“Would you like to be mine?” tanya Altair. Ia genggam kedua tangan Aquila erat sembari memaku sepasang manik coklat madu itu.“Absolutely, yes!” Mendengar jawaban yang diberikan Aquila, Altair segera menarik tangan gadis itu hingga terjatuh di pangkuannya. Memeluknya erat, menyesap aroma jasmine yang menguar dari tubuh Aquila. Aquila melakukan hal yang sama, ia memeluk erat pria tampan beraroma mint yang baru saja sah menjadi kekasihnya.Lama keduanya saling berpelukan, mencurahkan segala perasaan yang sudah mereka tahan beberapa bulan yang lalu.“Arigatou.. hontou ni arigatou!” Altair berucap lembut, “terima kasih karena sudah hadir di hidupku.” Lanjutnya.“Un.. terima kasih karena telah ‘menemukanku’!” balas Aquila.Altair yang pertama melepaskan pelukannya, ia i
Pagi menjelang. Ryota, Arata dan Naoki masih tertidur di sofa panjang apartemen Altair sementara sang empunya tengah menikmati segelas kopi hitam di balkon depan. Menikmati udara pagi yang begitu segar, pria itu sudah lupa kapan terakhir kali ia menikmati udara pagi seperti sekarang ini.Menyesap kopinya santai, menikmati segala rasa yang terkandung di minuman berwarna hitam pekat itu. Ada rasa manis juga pahit yang menyapa indra pengecapnya bersamaan, mau tidak mau ia harus meneguknya. Seperti kehidupan. Kau tidak bisa memilih untuk selalu merasakan bahagia dan membuang pahitnya, suka tidak suka kau dipaksa menelan ke duanya untuk menyeimbangkan rasa.Beberapa kali pria tampan itu mengambil nafas panjang kemudian menghembuskannya perlahan. Dari ufuk timur bisa ia lihat matahari yang masih malu-malu menampakkan diri, sebagian sinarnya menerobos awan yang menghalangi. Bisa Altair lihat juga beberapa burung berterbangan untuk memulai aktivitas
Hari sudah menjelang sore saat Aquila sampai di tempatnya bekerja. Beberapa rekan kerjanya menoleh ke arah gadis cantik itu heran, bagaimana tidak, Aquila datang menggunakan mobil mewah keluaran terbaru yang tak mungkin bisa dimiliki oleh pekerja paruh waktu seperti mereka. Aquila sendiri memilih tak ambil pusing dengan tatapan yang dilayangkan oleh teman-temannya, ia berjalan menuju ruang ganti karyawan.“Sepertinya ada yang punya pekerjaan sampingan lain.” sindir salah satu rekan yang Aquila tahu tidak menyukainya. Gadis manis itu tidak menjawab, ia sibuk untuk mengganti pakaiannya.“Di mana kau mencari pria kaya untuk menunjang finansialmu?” tanya rekannya yang sedikit meninggikan suara karena tak juga mendapat respon dari Aquila, “hei.. aku berbicara padamu, Aquila!” seru temannya.Aquila menoleh, “aku tidak mencari pria kaya untuk menunjang finansialku.” balas Aquila.