Share

Bab 3 SUAMIKU TAK TAHU AKU ISTRINYA

Malam ini aku harus tampil dengan mewah. Agar Nyonya Mala yang tak lain Ibu mertuaku terkesima melihat penampilanku.

Hemh ... keluarga yang selalu menilai seseorang dari status sosialnya.

"Pak Ahmad, anterin saya, ya!" pintaku pada sopir pribadi.

"Baik, Mbak Rubi."

Tadinya Ardian ingin menjemputku. Tapi aku memang menolaknya.

"Mau ke mana kamu, Bi?" tanya Mama Intan yang tiba-tiba datang.

"Mama Intan?" ucapku sembari melayangkan pelukan."

"Mama ke sini tadinya pengen ngobrol denganmu, Bi. Tapi sepertinya kamu ingin pergi?"

"Ardian mengundang Rubi makan makan malam, Ma."

"Makan malam? Hebat sekali kamu, Bi. Baru bertemu sekali. Ardian sudah langsung mengundangmu malam malam. "

"Semua berkat Mama Intan yang sudah merubah Sundari menjadi sosok Rubi."

"Ya sudah. Kamu pergi saja! Besok temui Mama di kantor, ya!" jelas Mama Intan sembari menepuk bahuku dan berlalu pergi.

"Kita berangkat sekarang, Mbak Rubi?"

"Iya, Pak." Aku pun langsung melangkahkan kaki masuk ke dalam mobil.

Segera kutekan nama Ardian di kontak ponselku untuk mengirim sebuah pesan.

Aku berpura-pura menanyakan alamat rumahnya. Rumah yang sebenarnya pernah aku tinggali selama enam bulan sebelum akhirnya melarikan diri karena perlakuan mereka yang semena-mena.

Setelah hampir tiga puluh menit perjalanan. Akhirnya sampai juga di depan rumah mewah yang telah menorehkan luka hati begitu dalam untukku.

Sepertinya mereka memang sudah menanti kedatanganku. Pintu gerbang yang biasanya tertutup rapat, kini terbuka begitu lebar.

Pak Ahmad pun langsung masuk dan berhenti di halaman rumah.

Tiba-tiba pandanganku tertuju pada sosok lelaki yang berdiri di samping pintu gerbang. Wajah yang tak asing dan sosok yang begitu berarti dalam hidupku.

Bapak?

Kenapa Bapak bisa ada di sini?

Kuseka air mata yang tiba-tiba menetes tanpa di undang. Ingin rasanya aku turun dan langsung memeluk beliau.

Maafin Sundari, Pak. Karena saat ini harus berpura-pura tidak mengenal Bapak.

Tok tok tok

Terdengar suara ketukan dari kaca mobil yang membuatku mengalihkan pandangan.

Ardian?

Kuhela napas panjang untuk sedikit menenangkan perasaan.

"Sebentar, Mbak Rubi! Saya bukain pintunya," terang Pak Ahmad yang terlihat sudah ingin keluar dari mobil.

"Tidak usah, Pak! Biar saya sendiri saja yang buka."

Segera kubuka pintu mobil dan langsung turun dengan rasa tidak sabar ingin melihat reaksi orang-orang sombong di rumah ini.

Ardian begitu terperanga melihatku. Dia hanya berdiri mematung tanpa berkedip sedikitpun.

"Ardian ... hey?" ucapku dengan mengibaskan tangan di depan wajahnya.

"O - oh. Maaf, Bi," jawabnya terlihat gugup. "Kamu cantik sekali. Sangat cantik."

Heh ... kamu terlalu berlebihan memujiku, Ardian? Apa kamu sudah lupa dengan Sundari—istrimu?

Yang ada di hadapanmu saat ini Sundari, Ardian. Istri yang tidak pernah kamu anggap. Sekarang aku menyamar menjadi Rubi untuk membalas kalian semua.

Dan sepertinya Rubi sudah membuatmu jatuh cinta dalam sekejap. Bagus. Memang itu tujuanku.

"Ma ...," teriak Ardian memanggil mamanya.

"Iya, sebentar." Suara Nyonya Mala kini terdengar lagi di telingaku. Perempuan jahat. Sangat jahat.

Terlihat Nyonya Mala menuruni anak tangga dengan memandangku.

"Ini yang namanya Rubi? Benar kata Ardian. Sangat cantik dan

penampilannya juga luar biasa. Saya Tante Mala, mamanya Ardian."

"Saya Rubi, Tante. Terima kasih atas pujiannya," jawabku dengan berusaha mengulas senyum meskipun sangat terpaksa.

Nyonya Mala dan Ardian mengajakku duduk di ruang tengah.

Netraku mulai memandangi sudut demi sudut ruangan di rumah ini.

Hemh ... tidak ada yang berubah. Masih sama seperti dulu.

Tiba-tiba netraku terarah pada sosok perempuan paruh baya yang sedang berjalan ke arah kami dengan membawa minuman.

Ibu?

Kenapa Ibu juga ada di sini? Sebenarnya apa yang telah dilakukan keluarga ini pada orang tuaku?

"Silahkan Non, minumannya!" ucap ibu menawarkan padaku.

Bu .... Ini Sundari, anak Ibu. Apa Ibu bisa merasakan'nya?

Ibu menatapku dan mengulas senyum sebelum berlalu dari hadapan kami semua.

Ingin sekali aku berlari dan memeluknya. Tapi itu tidak mungkin.

Sekuat tenaga aku berusaha menahan air mata dan rasa sesak di dada ini. Ternyata Nyonya Mala dan anak-anaknya tidak hanya menyakitiku, tetapi juga kedua orang tuaku.

Bapak, Ibu. Kalian yang sabar, ya! Sundari akan memberi pelajaran pada mereka semua. Orang-orang yang telah menginjak harga diri kita hanya karena perbedaan status sosial.

"Bi, hey .... Kenapa malah bengong? Ayo diminum!" ucap Ardian membuatku sedikit gugup.

"O - oh, iya. Maaf, saking nyamannya saya di rumah ini."

"Ah, Rubi. Bisa saja merendah. Pasti rumah kamu jauh lebih bagus dari ini. Iya 'kan?"

Hanya harta yang di dalam pikiran kamu, Nyonya Mala. Sampai tidak punya rasa malu menanyakan hal tersebut padaku.

"Pasti, Ma. Rubi ini perempuan muda yang sangat sukses. Dia memiliki perusahaan yang cukup besar," jelas Ardian pada mamanya.

Heh ... kalian semua itu sama saja.

"Terlalu berlebihan kamu memujiku, Ardian."

Prang

Tiba-tiba terdengar suara benda jatuh dari belakang.

Pikiranku langsung tertuju pada Ibu.

"Sebentar ya, Bi. Tante tinggal dulu," ucap Nyonya Mala terlihat menahan amarah.

"Oh ya, Ardian. Boleh saya menumpang ke toilet?" Aku berusaha mencari alasan agar bisa melihat apa yang sebenarnya terjadi.

Ardian lantas menunjukkan arah toilet untuk tamu.

Padahal aku sudah sangat paham dengan semua ruangan di rumah ini.

Aku harus tetap bersikap tenang agar Ardian tidak curiga.

"Kamu itu sama saja dengan Sundari. Selalu bikin kesal orang. Kamu tahu, berapa harga piring ini?" bentak Nyonya Mala pada Ibu dengan menunjuk ke arah pecahan piring yang berserakan di lantai.

"Ma - maaf Nyonya. Tadi tangan saya tiba-tiba gemetar," jawab ibu dengan tetap membersihkan pecahan piring tersebut.

Benar-benar sudah tidak tahan rasanya melihat semua ini. Nyonya Mala benar-benar keterlaluan. Belum cukup dia menyiksaku selama di rumah ini.

"Tante. Maaf, toilet di mana, ya?" tanyaku untuk menghentikan perlakuan Nyonya Mala pada ibuku.

"E - eh, Rubi. Sudah dari tadi kamu berdiri di sini?"

Aku menganggukkan kepala dan berusaha tetap tersenyum.

"Maafin Tante! Pasti kamu lihat Tante marah-marah, ya? Ini pembantu selalu bikin masalah. Dulu anaknya menjebak Ardian agar dinikahi. Untung saja Ardian bukan orang bodoh," jelas Nyonya Mala membuat rahangku terasa keras.

Sabar Sundari! Tahan emosi kamu! Terserah perempuan itu mau bicara apapun tentang dirimu.

"Ya sudah, ayo Tante tunjukan toiletnya."

Aku berdiri di depan cermin yang ada di dalam toilet. Ingin sekali aku teriak untuk menumpahkan amarahku ini.

Kugenggam tanganku dan meremasnya.

Bagaimana agar aku bisa bicara dengan Ibu malam ini?

Ayo berpikir, Sundari!

Tok tok tok

"Bi ... kamu tidak apa-apa 'kan di dalam?" tanya Ardian yang tiba-tiba mengetuk pintu toilet.

Kuhembuskan napas kasar dan berusaha bersikap biasa.

"Aku tidak apa-apa. Memangnya kenapa?" jawabku setelah membuka pintu.

"Aku khawatir. Kamu lama sekali di toilet. Mama dan Flo sudah menunggumu di ruang makan."

Khawatir? Kamu khawatir dengan Rubi yang hanya beberapa menit di dalam toilet? Terus. Apa kamu tidak khawatir dengan Sundari—istrimu, yang sudah satu tahun pergi dari rumah dan tidak ada kabar?

"F - Flo? Siapa dia?" tanyaku basa-basi.

Padahal aku tahu, Flo itu adik perempuanmu, Ardian. Yang sama jahatnya.

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status