Share

Bab 4

________🖤_______

Musik ghending khas karawitan Jawa mengiringi tarian Marni malam ini. Tepat di malam satu suro ini, hajat bumi di selenggarakan warga desa Ghendingan setiap tahunnya. Sorak-sorai antusias warga membuat suasana panggung bertambah meriah.

Suara tepuk tangan saling bersahutan setelah tarian Marni selesai.

"Rogo siji tetep siji, banjur njaluk rogo sing anyar. Gelap pandeleng lan bathin, arep nggawe kowe m a t i."

**"Raga satu tetap satu, kemudian meminta raga yang baru. Gelap mata dan batin akan membuat mu m a t i." Marni mengucap japa mantra. 

Mata menatap lekat pada Angga, tersenyum dari kejauhan. Angga menyambut hangat tatapan Marni, tetapi tidak dengan Marni. Berpoleskan makeup nan anggun, dia begitu ingin menyingkirkan lelaki itu. Seperti ada sesuatu yang menariknya, dia begitu membencinya.

Bergegas Marni pergi ke ruang ganti setelah beberapa kali menyuguhkan tarian tradisional, membuat orang-orang terpana melihatnya.

"Marni!" 

"Siapa?"

Seseorang memanggil lembut saat Marni tengah berganti pakaian. Tubuhnya belum tertutup seluruhnya, namun lelaki itu masuk tanpa permisi. Di lihatnya t u b u h Marni, dari belakang begitu mulus, dia tak sabar melihat pemandangan itu, didukung dengan sikap Marni yang diam saja.

"Jangan membelakangiku Marni, jika memang kamu mau," ucap Pak Radhi.

Marni tersenyum di balik wajahnya.

Tangan kasar Pak Radhi menyambut punggung putih Marni. Marni mengeliat, membuat jiwa lelaki tua itu bergelora. 

Saat tangan itu menyambut tangan Marni, Marni menoleh, menatap mata Pak Radhi t a j a m tanpa kelopak mata. Mata itu terlihat hidup dan utuh sangat mengerikan membuat Pak Radhi berteriak sekuat-kuatnya. 

"Kau raga yang menggantikan anakmu!!!"

Pak Radhi masih di posisinya, terbelalak dengan suara yang hampir habis akibat berteriak.

"A-ampunn, M-marni!"

Cairan hitam keluar dari mulut Marni, perlahan menetes m a s u k ke dalam mulut Pak Radhi, yang tengah bersimpuh sambil menganga, dengan badan yang hampir merosot jatuh ke lantai. Rasa m u a l membuat Pak Radhi m e m u n t a h k a n cairan m e r a h kental.

"Rogo siji tetep siji, banjur njaluk rogo sing anyar. Gelap pandeleng lan bathin, arep nggawe kowe m a t i,"

**"Raga satu tetap satu, kemudian meminta raga yang baru. Gelap mata dan batin akan membuat mu m a t i." Marni mengucap japa mantra dengan cepat.

"Aaaaaaaaa ... !!!"

Teriakan berat, bercampur serak mengema di ruangan itu, Pak Radhi tercekat menghembuskan nafas. 

"Jangan salahkan aku, atas kematian mu. Ini ulahmu, menghampiri Marni yang menyimpan dendam."

Marni, m e l e n y a p k a n Pak Radhi tanpa kedua tangannya.

_______

"Ibu, ada acara apa di depan rumah?" Marni menggeser kursi makan untuk sarapan pagi-pagi sekali.

"Mar, ibu kaget. Pak Radhi dhek bengi di temokne ninggal neng nggone acoro mambhengi kae. Wis kat esuk mau ibu wes rono, mengko yo arep rono meneh rewangan, mesakno cah bagus,"

**"Mar, ibu kaget. Pak Radhi semalam di temukan meninggal di tempat acara semalam. Tadi subuh ibu sudah kesana, nanti juga ibu kesana lagi bantu-bantu, kasihan nak baik," ucap Ningsih seraya menyiapkan lauk makan Marni. 

"Kowe dhisek sing resik resik omah yo. Ibu ge ndang cepet-cepet,"

**"Kamu dulu yang beres-beres rumah ya. Ibu buru-buru." Ningsih mengecup kepala putrinya, kasih sayang Ningsih tiada duanya, sejak kecil Marni tidak pernah dia bawa ke tempat keramaian, kecuali memang keinginan itu datang dari putrinya sendiri.

Marni dengan santai mulai melahap masakan ibunya. Melihat di hadapannya Nyai Asih tertawa puas, Marni tersenyum menimpali. 

"Kenapa lelaki buaya seperti mereka harus hidup berlama-lama di dunia? Akan lebih baik seperti ini, tidak m a t i sia-sia, bukan? Setidaknya satu orang b e j a t sudah tiada."

Suara tertawa itu kembali menggema di ruangan. Namun setelahnya, sunyi senyap.

__________

Marni yang telah membereskan rumah, di lanjutkan membersihkan diri. Marni keluar rumah, berniat datang ke rumah Angga. Kain kerudung warna merah dia tutupkan ke rambutnya yang lurus. Dia melihat suasana, nampaknya jenazah Pak Radhi telah di makamkan. 

"Mas, Angga?" Marni menyapa lelaki yang beberapa hari ini memberi perhatian lebih.

"Eh, dek Marni!" Angga sedikit mengusap sudut matanya, lalu berusaha tersenyum ramah.

"Turut berduka, Mas. Aku minta maaf karena belum bisa untuk bantu-bantu disini," ucap Marni lugu.

"Tidak apa, dek. Ini sudah takdir bapak. Kalau urusan bantu-bantu, Alhamdulillah Bu Ningsing dan tetangga lain sudah cukup. 

Dek Marni tak perlu tak enak hati begitu. Mas tahu, dek Marni berbeda. Tak kesini pun tak apa, Mas memaklumi.

Tapi jika sudah terlanjur kesini, duduklah. Mari," ucap Angga sepenuh hati, mempersilahkan masuk.

Sedih masih terasa, namun dia juga tak tega jika mengabaikan Marni. 

Meski sedikit bertanya, perihal tempat di mana ayahnya tiada, yaitu di ruang ganti khusus Marni. Sekelebat muncul fikiran buruk pada Marni. Menyangka yang tidak-tidak antara Marni dan ayahnya itu.

Akan tetapi lagi, wajah lugu Marni yang polos, merubah fikiran Angga untuk tak curiga. Bagaimana pun dokter bilang ayahnya itu terkena serangan jantung mendadak.

"Mas, nanti jangan sungkan untuk makan di rumah, karena pasti Mas Angga disini sendiri, kurang berselera jika makan sendiri," ucap Marni dengan sedikit senyum.

"Hm. Bolehkah?"

"Boleh, Mas!"

"Iya. Terimakasih banyak ya, dek." Angga menanggapi baik, tapi lagi hati masih berduka. Kehadiran Marni memang membuatnya senang, tak di pungkiri juga dia masih banyak diam.

"Yang sabar, Mas. Kalau begitu Marni pamit pulang dulu."

Menyadari itu, Angga merasa kasihan. Tak sepenuh hati dia mengistimewakan gadis pujaannya.

"Maaf Dek. Mas belum bisa banyak cerita-cerita."

"Tak apa, Mas," ucap Marni ramah.

Angga mengantar Marni sampai ke pintu. Sebelum berbelok Marni tersenyum, senyum yang paling manis di mata Angga. 

Itu nampak luarnya, jika lebih di perhatikan, mata hitam, wajah pucat dan mengeluarkan lendir hitam dari mulutnya. Wajah kedua dari seorang Marni.

Sayangnya, keterpurukan membuat Angga tidak melihat kenyataan pada Marni. Di lihatnya Marni tetaplah Marni gadis cantik yang dia sukai.

"Andai kau tahu, dek. Aku menyukaimu." 

Angga membalikkan badan, Ghendingan terdengar di telinganya. Dia menyadari itu. "Astagfirullahal'adzim," lirih Angga.

Suara serak sedikit terdengar begitu dekat. Membuat bulu kuduk meremang. Hawa panas terasa menjalar ke seluruh tubuh.

"Giliramu!!!"

_________🖤________

Bersambung ...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status