Share

Bab 4 Butuh Pernyataan Status

“Rumah Salma di sini?” Tanya Rama ketika melihat Maryam turun dari motornya. Salma mengangguk.

Motor Maryam berbelok di sebuah halaman dengan deretan rumah-rumah petak. Ada 5 rumah petak dengan dinding menempel satu sama lain. Terasnya diberi dinding penyekat antar rumah untuk menjaga privasi.

Bentuk  depan semua rumah-rumah itu sama. Semua catnya pun sama, berwarna biru muda dan kusen-kusen berwarna putih. Rama menebak rumah itu pasti seperti rumah petakan yang disewakan. Bukan semacam hunian permanen.

Ukurannya kecil tapi cukup untuk tinggal Maryam bersama kedua anaknya, halaman itu muat dua mobil, cukup besar sebagai arena bermain Salma dan Fatih.

Rama menghentikan mobilnya di luar gerbang halaman, tidak berani masuk dan membuat orang lain berpikiran macam-macam. Terlebih, ia takut Maryam tak nyaman.

“Jadi setiap hari harus lewat kebun tadi?”

Lagi-lagi Salma mengangguk.

Maryam mendekati mobilnya untuk menjemput Fatih yang masih tertidur di mobil.

Rama membukakan pintu bagian belakang dan mengambil Fatih. Fatih masih tertidur nyenyak. Dan sepertinya memang benar-benar terlelap karena kenyamanan tidur di dalam mobil.

“Mbak Mar pulang malem lagi?” Sapa seseorang dari balik mobil Rama. Suaranya melengking membuat Rama berjengit. Untungnya kepalanya tidak terbentur atap mobil.

“Iya, Bu.. Biasa, jadwal ngajar nya harus diundur karena kios tadi lagi rame banget.”

Ibu itu mengangguk-angguk tapi matanya berkeliling mengawasi mobil mewah yang ada di depannya.

“Hati-hati kalau lewat sana malem-malem begini, Mbak.. Syukur kalo dianter tadi. Usahain jangan sendirian kalo lewat sana.”

“Iya, Bu.. Akan saya ingat.” Jawab Maryam singkat.

Rama mendengarkan percakapan itu dalam diam. Ia berpura-pura berlama-lama menunduk untuk mengambil Fatih kecil yang terbaring nyenyak.

Pulang malem lagi. Berarti bukan cuma sekali dia begini.. berarti dia sendirian kalau pas pulang malem? Berani bener. Rama bergumul dalam hatinya.

“Siapa Mbak Mar? Pacar ya? Syukur deh kalo udah punya pacar, ada yang nemeni pulang kerja lewat kebun bambu itu..”

“Bukan, Bu…” Kata Maryam sambil mendekati pintu tempat Fatih terbaring. “Ini wali murid Salma. Kebetulan ketemu tadi.”

Ibu itu kembali manggut-manggut dan memajukan bibirnya. Sepertinya keingintahuannya belum usai tapi Maryam berusaha mengusirnya.

Setelah memastikan Ibu tadi benar-benar sudah pergi, barulah Rama keluar dari mobilnya.

“Terima kasih banyak Mr. Rama.. Maaf merepotkan.” Ucap Maryam sambil menunggu Salma turun dan mengambil Fatih dari gendongan Rama.

“Sama sekali tidak merepotkan. Oh, ya ini di luar sekolah, jadi cukup panggil saya Rama.. Saya permisi. Bye.. Salma. Sampai jumpa besok di sekolah.” Rama berjongkok mensejajarkan tinggi dengan Salma.

“Bye Om..”

Rama terkekeh, Salma masih mengingatnya agar memanggilnya Om di luar sekolah. Ia mengulurkan tangannya mengusap kepala Salma sekali lagi.

“Good girl..”

“Di tengah kota begini ternyata masih ada yang mempertahankan kebun bambu seperti ini.. Apa nggak sadar kalau sangat menakuti warga sekitar. Mana nggak ada penerangan sama sekali… ” Gerutu Rama ketika melewati kebun bambu itu lagi.

“Pacar? Apa maksudnya pacar? Bukannya orang-orang juga tahu Maryam sudah bersuami.. kecuali.. Kecuali…” Rama melebarkan matanya karena pikirannya sendiri.

***

“Ngapain kamu balik ke sini lagi?” Tukas Ines pada adik bungsunya.

“Aku mau tidur di sini. Berangkat dari sini ternyata lebih deket. Atau aku beli salah satu rumah di sini aja?” Rama melewati Ines di ambang pintu dan menghempaskan tubuhnya di sofa ruang tamu.

Lalu meletakkan kunci mobilnya pelan-pelan di atas meja.

Karena ibu-ibu tadi, Rama merasa harus segera memvalidasi apa yang ia dengar dari ibu-ibu tetangganya Maryam soal pacar. Kenapa wanita yang bersuami ditanyai pacar? Pertanyaan itu sangat mengganggunya.

Rama tidak seharusnya ikut campur akan kehidupan pribadi seseorang, tapi entah kenapa ia merasa tak nyaman dengan pembahasan soal pacar yang diajukan pada Maryam.

Dia bukan siapa-siapanya, apalagi suami. Dia tidak berhak tidak suka. Tapi…

Disinilah ia sekarang. Ia melirik Ines sekilas untuk melihat reaksi apa yang akan diberikan kakaknya yang rautnya sekarang mirip dukun cenayang itu.

“Katakan! Sebenarnya apa yang kamu inginkan?” Ines masih berdiri di ambang pintu bersedekap.

Seolah-olah, ia tak membiarkan tamu tak tau diri ini berlama-lama di rumahnya. Tatapannya juga benar-benar mampu menikam Rama.

“Udah lama Icha belajar sama mamanya Salma?” Tanya Rama tanpa memandang Ines. Ia tahu ia tak mampu menyembunyikan apapun dari kakak dan ibunya.

“Hmm,”

“Kenal darimana?”

“Temanku tetangganya Mar di tempat tinggalnya dulu.”

Rama mengangguk-angguk. Lalu terdiam sejenak terlihat menimbang-nimbang. “Berarti Mbak tau apa yang terjadi sama mamanya Salma?” Untuk pertanyaan satu itu, Rama sungguh-sungguh memberanikan diri.

Ines memutar bola matanya malas. Tanpa dikatakan pun sebenarnya ia tahu apa yang sebenarnya adiknya ini inginkan. Tingkat keingintahuannya terhadap janda beranak dua yang baru saja diantarnya sepertinya meningkat tajam.

Rama sangat gelisah. Matanya semakin berkilat dan selalu mengalihkan pandangan saat beradu pandang dengan Ines. Gesture tubuhnya jelas tak bisa membohonginya.

“Kamu mau tau soal apa? Penting buat kamu?” Ines menyandarkan bahunya di daun pintu menunggu dengan sangat tidak sabar pada adiknya yang sekarang sangat menyebalkan.

Rama menegakkan tubuhnya lagi. Menghela nafas, berdehem, memutar bola mata, menyugar rambut. Semua gerakan yang digunakan untuk pengendalian diri sudah ia lakukan.

Lalu…

“Orang tua Salma bercerai?”

“Sejak kapan kamu mengurusi urusan orang lain?” Sambar Ines cepat. Hampir bersamaan dengan kata terakhir yang terucap dari mulut Rama.

“Tinggal jawab aja!”

“Rewel kaya cewek.” Dengus Ines.

“Iya apa nggak?” Desak Rama.

“Memangnya kenapa? Kenapa kamu harus tau?” Nada Ines sengit. Ia tidak habis pikir harus meladeni kerewelan seorang pria berumur 32 tahun.

“Karena aku jadi bisa melakukan sesuatu untuk Salma.” Sahut Rama dengan nada berat. Ia sedang sangat serius kali itu.

“Sesuatu seperti apa? Seperti mendekati mamanya dan menjadikan Salma anakmu? Jangan konyol, Ram!” Rahang Ines mengetat. Baru kali ini ia benar-benar kesal pada adik bungsunya.

“Mbak udah berpikir sejauh itu? Aku aja nggak kepikirkan sampai sejauh itu. Aku hanya ingin mengajak Salma jalan-jalan, menghiburnya dan memuaskan rasa penasarannya dengan apa yang diceritakan oleh teman-temannya. Itu aja.. Kenapa Mbak berpikir sejauh itu?”

“Lalu? Setelah kamu sudah melakukan semua itu pada Salma, lantas apa yang akan Salma dan Maryam pikirkan tentangmu? Kamu nggak mikir kalau Salma akhirnya akan bergantung padamu? Kamu nggak mikir seandainya suatu saat kamu menikah dan mematahkan hati Salma lagi? Jangan bodoh, Ram. Hentikan sekarang juga atau Mbak yang akan membuat kalian tidak akan pernah bertemu lagi.” Cecar Ines tanpa jeda.

“Tidak cukupkah hanya menjadi gurunya aja? Salma dan Maryam sudah banyak tersakiti. Mbak nggak akan mengijinkanmu mendekatinya.” Lanjutnya lagi.

“Jahat banget!” Seloroh Rama hingga membuat Ines berkilat marah padanya. “Aku nggak berpikir sejauh itu.”

“Kamu memang nggak pernah memikirkan sesuatu dengan matang. Selalu impulsif. Makanya sampai sekarang nggak nikah-nikah.” Tukas Ines menggebu-gebu.

Malam itu sudah terlalu larut baginya, dan ia harus meladeni adiknya yang rewel karena seorang janda beranak dua.

Di sisi lain, Ines merasa sangat jahat terhadap Rama, tapi di sisi lain pula ia takut adiknya justru akan menorehkan luka pada keluarga kecil Maryam suatu saat nanti.

“Jadi bener Mama dan Papa Salma sudah bercerai.. Kalau seandainya aku beneran suka sama mamanya Salma gimana?”

Ines diam tak menjawab. Matanya berkilat tajam ke arah Rama. Hanya sekilas lalu kembali mengalihkan pada pintu dan menerawang seolah mampu menembusnya.

Rama semakin salah tingkah karena mendapati kakaknya hanya diam mengabaikannya.

“Mbak.. Gimana?”

“Apanya yang gimana? Masih belum ngerti juga kamu? Pulang sana!” Usir Ines. Kepalanya berdenyut sekarang.

32 tahun ia hidup bersandingan dengan Rama, baru kali ia merasakan laki-laki itu sangat rewel dan kekanakan.

“Aku serius, Mbak!”

Ines menghela nafas sangat dalam dan menghembuskannya cepat. “Mbak juga serius, Ram! Pulang sekarang atau mbak telpon ibu. Ya ampun… Umurku udah mau 40 tapi aku masih ngurusi bujang lapuk seperti dia ini, bodoh pula?! Dosa apa yang telah aku lakukan di masa lalu, Tuhan?”

“Lebay.. Aku pulang!” Rama keluar melewati Ines. Tiba-tiba ia berhenti dan berbalik, “Ah.. Bisa jadi aku nggak nikah-nikah karena nunggu jandanya Maryam.”

“Ram!!!” Ines menggeram ketat.

Sementara Rama berlari terbirit memasuki mobilnya segera sebelum kursi rotan yang ada di cengkeraman tangan kakaknya itu melayang ke arahnya.

Rama memelankan laju mobilnya, malam itu sudah hampir pukul 22.00 tapi ia enggan pulang. Rasa penasaran terhadap Maryam dan anak-anaknya sungguh mengganggu pikirannya.

Kalau dia pulang, sudah pasti ibunya akan mencegat dan menebak apa isi pikirannya. Lalu hal yang sama pasti akan terlontar seperti halnya yang diucapkan kakaknya, Ines.

Dia sudah 32 tahun, dan sampai saat itu ia belum bisa bersikap tegas jika berkaitan dengan perempuan. Rama laki-laki lemah jika dihadapkan pada perempuan. Ia akan bertindak impulsif seperti menuruti semua keinginan perempuan agar mereka bahagia.

Dia loyal dengan wanita yang disukainya tanpa tahu bahwa ia dimanfaatkan atau tidak. Semua akan Rama lakukan untuk wanita yang disukainya. Ia akan spontan mengucapkan rencana-rencana yang akan dilakukannya bersama orang yang ia suka.

Padahal, hal itu hanya sebatas ide yang melintas di kepala. Belum terencana dengan matang dan dipikirkan baik-baik. Itulah kenapa Ibu dan Ines tidak bisa percaya pada setiap rencana-rencana Rama.

Karena tidak pernah ada satupun yang terlaksana dan benar-benar ia seriusi. Itu juga yang sebenarnya membuat Ines khawatir terhadap Maryam dan Salma kalau Rama mendekati mereka.

Ines takut Rama akan berkata yang membuat harapan Maryam dan Salma melambung tinggi, lalu tanpa sadar Rama juga lah yang menjatuhkan mereka.

Tidak… Ines tidak akan sanggup melihat itu semua. Ia akan memilih kebahagiaan Maryam dan anaknya daripada keegoisan sang adik.

Rama berputar-putar di jalan yang sama sudah lebih dari dua putaran. Ia sudah mendapat jawaban tentang status Maryam. Lalu.. Kalau sudah mendapat jawaban akan status Maryam lalu kenapa? Apakah ia yakin ia menyukai Maryam? Kalau dengan Salma tidak perlu diragukan.

Ia sendiri tidak yakin dengan apa yang akan dilakukannya untuk Salma meski ia sudah lantang mengucapkan itu pada Ines. Dan kalimat Ines sejujurnya juga mengganggu Rama.

Benar. Bagaimana jika nanti yang dia lakukan justru akan menyakiti Salma dan keluarganya? Terutama Maryam.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status