Share

Episode 3

Di depan sebuah kamar dimana Hana terbaring, laki-laki dengan wajah kusut sedang bersandar pada kursi ruang tunggu. Sudah di pastikan dia menunggu istrinya, Hana. Dengan rambut acak-acakan lupa akan waktu. Adnan tidak ingin meninggalkan ibu dari anaknya walau sedetikpun.

Dering telepon mengganggu lamunan suami Hana, tertulis nama ibu Dahlia pada layar ponselnya. Tentu saja bukan pemilik ponsel yang menghubungi, melainkan Bibi pekerja sekaligus pengasuh si kembar. Ibu Dahlia hanya meminjamkan benda pipih tersebut.

Perempuan paruh baya itu menghubungi melalui panggilan video. Sejujurnya Bibi tidak bisa menggunakan handphone. Pada usia yang terbilang tidak muda lagi, Bibi sudah tidak berniat belajar menggunakannya. Maka dari itu, bibi meminta tolong ke pekerja bagian mencuci pakaian. Umurnya juga lebih muda jika dibandingkan si bibi.

“Papa.”

“Papa.”

Ayanna dan Anthea bergantian memanggil sang ayah. Jangan lupakan kata terjelas gadis mungil itu hanya ke dua orang tuanya ‘Mama dan Papa.’

“Maaf, Pak. Mereka rewel manggil-manggil mama dan papanya. Bibi jadi tidak tega.” Bibi merasa tidak enakan, ia juga tahu kalau Adnan pasti lebih kalut memikirkan Hana.

“Enggak apa-apa, Bi. Mana dua kecilku?” pinta Adnan.

Layar ponsel itu pun bergerak kearah putrinya, masih tersedu dua gadis kecil kembar disana, telah menyelesaikan acara menangis bersama. Mereka cukup tertipu oleh ide bibi.

Disaat yang sama, laki-laki berambut hitam bercampur putih dan terlihat jelas dari kulitnya kalau ia tak muda lagi. Menghampiri Adnan. Jalan yang sudah tidak setegap dulu, berdiri di depan sang putra semata wayang. Dia lah ayah dari Adnan Wijaya.

Segera putra Wijaya menyalami tangan Wirahardi yang tidak perkasa lagi, punggung tangannya juga telah di hiasi urat-urat yang sedikit menonjol. Kemudian memutuskan panggilan video sesaat tadi.

“Ingat, Nan. Semua ini adalah cobaan rumah tangga kalian. Tak seharusnya kamu bersikap seolah tidak ada harapan. Kamu punya penguasa yang maha besar. Berdo’a lah. Minta yang terbaik.”

“Jaga kondisi tubuhmu. Ayanna dan Anthea butuh peran ayahnya.” Imbuh pria tua itu.

Adnan terdiam sesudah mendengar tutur Wirahardi.

Meski berat untuk beranjak, seakan ia meninggalkan Hana. Tetap saja Adnan membeli makan siang sebentar. Tubuhnya bukan terbuat dari besi, dan dia butuh asupan agar terjaga kesehatannya.

***

Hari demi hari telah terlewati, do’a seorang putra Wijaya terkabul. Hana dikatakan sudah lebih baik oleh dokter yang menangani penyakit-nya. Beberapa rangkaian kemoterapi telah dijalani dengan baik.

Hana di perbolehkan pulang, tentu saja bersama pesan-pesan dari dokter. Hal-hal yang seharusnya di hindari pasien.

Tampak tubuh istri Adnan lebih kurus dari sebelumnya, hanya saja pakaian panjang dan longgar mampu menutupi. Hana begitu bahagia bisa melihat dua gadis mungilnya kembali. Langkah Hana juga masih dibantu sang suami. Jangan tanyakan seberapa perhatian Adnan pada istrinya.

Si kembar cucu Wijaya berlari menghampiri, mengoceh menceritakan hal baru dalam kesehariannya. Meski terbata, ucapan mereka tetap bisa di mengerti Hana. Berkali-kali ibu muda ini menghujani anaknya sebuah ciuman.

Sampai Anthea minta di gendong lalu disusul rengekan Ayanna.

“Sayang. Mama butuh istirahat, jadi belum bisa mengangkat kalian” Adnan memberi pengertian.

Kemudian ibu Adnan menyuguhkan pelukan kepada menantunya, mengucapkan selamat datang di rumah kecil mereka. Mata itu terlihat berkaca dan di iringi senyum bahagia.

.

Telah dua minggu semenjak Hana melakukan kemoterapi, akhir-akhir ini tak jarang istri Adnan melihat beberapa helai rambutnya menempel di kerudung. Terlebih jika dia mengenakan kerudung berwarna terang.

Depan cermin Hana berdiam diri sambil memegang kain penutup kepala segi empat, sejenis scarf.

“Ada apa, Han?” tegur suaminya.

Setelah kepulangan Hana pasca kemoterapi, Adnan selalu pulang lebih awal. Bahkan sebelum magrib menjemput. Dia meminta di kurangi dari jadwal sebelumnya.

Pria itu melirik kain yang di genggam Hana, jelas sekali rambut-rambut saling tindih.

“Itu efek samping dari kemo, Han. Hal itu normal-normal saja. kamu tidak usah terlalu memikirkannya.”

Perempuan yang sudah membiarkan rambutnya terurai, langsung memeluk Adnan. Menenggelamkan wajahnya di dada nyaman lelaki tersebut. Pelupuk mata pun menjadi lembab.

Adnan membuat Hana melepaskan pelukannya, menatap lekat wajah sedikit lebih tirus sang istri. Lalu tersenyum dan mengecup dahi cukup lama.

“Kenapa sekarang jadi cengeng?” Adnan melemparkan candaan setengah mengejek.

“Enggak tuh!” Perempuan itu seketika cemberut, enak saja laki-laki di hadapan mengatainya cengeng.

Lelaki tampan putra Wijaya tertawa renyah melihat kekesalan sang istri.

“Ya sudah. Aku mau mandi sebentar, setelah itu baru menidurimu.”

Sontak Hana membalas “Meniduri?” maksud yang ia tangkap sedikit ambigu.

Suara tawa pun kembali memenuhi kamar mereka, Adnan benar-benar tak pecaya kalau istrinya bisa berpikiran seperti itu.

“Maksudnya. Aku akan memelukmu hingga tertidur, biarkan dada ini memberi kenyamanan penuh” tunjuk pria ini bangga. Berhasil membuat Hana tersenyum lebar.

“Tapi kalau kamu tidak marah, aku bisa meminta lebih dari sekedar pelukan.” Dengan kata nakalnya yang di iringi kedipan satu mata menambah rona merah pada pipi sang istri.

“Cepat mandi sana!” kata terakhir yang mampu mengurangi rasa malu dari diri seorang perempuan.

Beberapa menit telah menyelesaikan ritual pembersihan Adnan, wangi sabun menyeruak dari kamar mandi. Rambutnya yang basah sedikit meneteskan air ke lantai. Dengan santainya, lelaki tersebut melangkah mendekati Hana. Berniat menggoda si istri.

“Sayang, kamu sudah tidur?” ia mendapati Hana berbaring menyamping menutup mata. Akhirnya Adnan berganti haluan, menuju lemari pakaian.

‘Maaf, Mas. Aku tidak bisa menjadi istri sepenuhnya lagi buat kamu’ hati Hana bersuara. Dirinya tidak benar-benar tidur, hanya saja mengelak supaya mereka tidak melakukan hubungan suami isteri. Serta tubuh itu tidak seperti biasanya yang mampu.

Hana sangat paham, jika seorang pria membutuhkan hal itu. Dan pikirannya kembali terusik, rasa bersalah semakin membesar.

Seketika Hana merasakan tempat tidurnya bergerak, secepat mungkin ia kembali terpejam. Ternyata Adnan yang telah selesai berpakaian. Laki-laki itupun menipiskan jarak, mengeratkan pelukan terhadap istrinya.

Mengecup dahi sang istri sebagai bentuk pengantar tidur. Akan tetapi ia teralihkan sesuatu di bawah hidung. Sudah lama ia tak merasakan lembutnya benda tersebut. dengan singkat Adnan mengecupnya.

‘Ini yang terakhir.’

Sial sekali, ia menjadi ketagihan. Pada tahap ke-dua pria itu sedikit lebih lama hingga memberi tekanan kecil.

“Mas!” Ucap Hana. Sedari tadi dirinya diam dan menahan agar tak bergerak.

Sontak Adnan memegang tengkuk Hana dan memperdalam kegiatannya tadi. Putra Wijaya sudah kehilangan kendali.

“Mas Adnan” perempuan itu berkata di sela Adnan melepas pagut-an nya.

Seolah tersadar kembali, pria ini memberhentikan aktifitasnya, menatap sendu wajah cantik Hana.

“Mas. Aku-”

“Sssttt. Aku yang salah. Jangan pernah kamu berpikir untuk menyalahkan diri sendiri lagi.” Adnan memotong perkataan istrinya.

“Mas. Aku benar-benar minta maaf.” Hana tak sanggup membendung air mata lagi. Ia terisak dalam pelukan Adnan.

“Aku minta maaf.” lirih Hana.

Putra Wijaya tidak bisa membalas ucapan Hana, dia terdiam sambil memeluk erat. Dirinya sangat tahu bahwa perempuan cantik ini tertekan. Dan sangat paham bagaimana Hana selalu menyalahkan diri sendiri terhadap kekurangan yang di miliki.

“Sayang. aku tidak bermaksud membuatmu bersedih. Aku sungguh menerima kamu apa adanya. Tidak ada tuntutan sama sekali” Adnan bergumam kecil.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status