Share

DYHTAL-4

Kalau dikatakan kami keterlaluan. Ya, memang benar. Aku pun menyadarinya. Hanya saja ini kenyataannya. Kenyataan bahwa kami berdua masih terjebak dalam nostalgia masa lalu dan terjebak dengan cinta yang belum usai. Jika di katakan ini salah, memang benar ini semua salah. Aku takkan berkata bahwa aku benar.

Jujur saja, aku tak ingin di cap pelakor. Tapi masalah hati siapa yang bisa mengaturnya kecuali Allah. Hanya saja, kita bisa menggunakan akal pikiran kita untuk menerima atau menolak hal yang akan berpengaruh baik atau buruk bagi kehidupan kita kedepannya. Semua dengan nafsu atau tidak.

Seperti yang IzanIzandra katakan kemarin, bahwa istrinya mengijinkan dia berpoligami setahun yang lalu. Well ... Aku tak serta merta bahagia. Meski memang aku merasa ada sedikit harapan tapi aku takkan menyiram harapan itu agar semakin besar. Aku harus menguburnya. Apalagi saat aku memikirkan latar belakang kami yang sangat jauh berbeda.

Aku yang notabene bukan lulusan pondok dan dia yang justru sekarang seorang pimpinan pondok, rasanya terlalu miris jika aku berani menerima pinangannya.

Bukan karena aku takut, hanya saja aku sadar diri. Takkan mudah untuk menjadi madu di antara keluarga orang yang sangat berpengaruh di dalam sebuah pesantren. Akan ada banyak sekali hal yang harus dijadikan pertimbangan untuk menerima pinangannya. Meski ada ijin dari istri pertama pun, aku masih harus beribu kali berpikir, pantas atau tidak aku mendampingi seseorang seperti Izandra, bukan hanya mengandalkan sebuah nafsu yang bertopengkan cinta. Karena sejatinya aku sadar, cinta yang hakiki adalah cinta yang tak melebihi batas ketentuan Allah dan berjalan sesuai dengan syari'atnya tanpa menggunakan hawa nafsu di dalamnya.

Aku rasa kisah kami takkan mudah. Sangat tak mudah.

***

Seharian pikiranku penuh dengan kekalutan. Banyak pertanyaan dalam benakku. Dan tentang bagaimana hubunganku dengan Izandra kedepannya.

Aku memutuskan untuk pergi ke rumah Irene sahabatku. Mungkin dia bisa memberiku nasehat yang lebih baik. Jujur, aku takut salah jalan dan aku butuh teman yang bisa mendengar keluh kesahku. Karena sepertinya hal yang tak mungkin jika aku harus bercerita pada keluargaku.

Sesampainya di rumah Irene, saat aku lihat dia membuka pintu, aku langsung memeluknya dengan erat dan berkaca-kaca.

Ada raut keterkejutan di wajahnya, mungkin dia bertanya-tanya mengapa aku tiba-tiba datang dan menangis seperti ini.

"Ndri ... Kenapa?" ucap Irene sambil mengelus-elus punggungku. Aku masih memeluknya dan masih ingin menumpahkan beban di hatiku yang terasa sesak.

Irene lalu membimbingku untuk masuk dan duduk di ruang tamunya, kemudian dia perlahan mendorong bahuku dan melepaskan pelukanku.

"Cerita sama aku, yah!" katanya. Dan aku jawab dengan anggukan.

Berulang kali aku menarik nafas lalu menghembuskannya dengan berat sambil sesekali masih sesegukan.

"Ren ... kalo kamu jadi aku, apa yang bakal kamu lakuin saat mantan terindah kamu ngajak serius tapi kamu harus jadi istri keduanya?" ucapku. Irene langsung terlihat terkejut tapi kemudian seperti mencoba untuk bersikap biasa saja.

"Ini pasti masih soal Izan, kan?" tanyanya. Dan aku mengangguk. "Emang apa yang terjadi?" lanjutnya.

"Entahlah, Ren. Ini terlalu membingungkan buatku. Kamu tau, kan, Izz itu sekarang bukan orang sembarangan. Bukan lagi seorang santri, tapi seorang Kyai. Menurutmu ... Pantes gak sih dia bersikap kek gitu sama aku?" Aku menghela nafas sebelum melanjutkan ceritaku. "Maksudku ... dia itu pasti lebih faham soal batasan-batasan dengan yang bukan mahram. Tapi dia malah kek gitu! Kamu tau lah maksudnya. Kamu juga tau Izz itu dari dulu gimana. Sekarang dia malah bikin aku bingung, stres dan sekaligus berharap." keluhku.

"Hati kamu gimana, Ndri?" tanya Irene padaku. Dan pertanyaan itu malah makin membuat aku bingung.

"Fyuuh ... Entahlah." Lemas aku menjawabnya. "Kamu tau, Ren. Dia cinta pertama aku, dengan dia bersikap manis tiap chat atau telpon aku aja, tuh, jujur aja masih ada rasa berdebar dan berbunga-bunga. Tapi satu sisi aku sadar diri, kita itu berbeda sekarang, kita gak bisa sama-sama lagi. Ada banyak perasaan yang harus kita jaga. Kamu ngerti, kan, Ren?" Jelasku panjang lebar.

"Aku ngerti perasaan kamu, Ndri! Emang dia maunya kalian kek gimana sekarang?" tanya Irene.

Aku langsung menceritakan pada sahabatku itu tentang bahasan poligami yang Izan ajukan kemarin. Tanpa ada yang aku tambahi atau aku kurangi. Semua aku ceritakan padanya. Terlihat Irene menghela nafasnya panjang, lalu dia bertanya, "terus, kamu mau?" Spontan aku mengendikan bahuku.

"Menurutmu gimana? Aku kesini mau minta saran darimu. Aku juga bingung," kataku.

"Gini deh ... aku gak tau mana yang bener mana yang enggak. Cuman gak mungkir sebagai sahabat yang tau kalian dari dulu kek gimana, aku jujur aja ngarep kalian sama-sama lagi. Tapi, kalian emang harus punya keberanian yang tinggi buat wujudin itu semua." Aku mengangguk membenarkan kata-kata sahabatku itu.

"Kalian memang bisa saja menikah siri, kalau kalian nekad, tapi apa iya kamu tega sama anak istrinya? Tambah lagi, ortu kamu gak bakalan semudah itu ngasih ijin, apalagi papa kamu yang notabene yang akan jadi wali. Tambah lagi nikah siri tanpa ada ijin istri pertama itu gak bakal di akuin negara, kasian anak kalian nanti kalo ngurus surat-surat kependudukan. Banyak hal yang harus kalian pikirkan!" Lagi aku mengangguk.

"Aku juga berpikiran hal yang sama kek kamu, Ren. Banyak sekali hal yang harus di pertimbangkan. Dan kayaknya, aku mundur aja," ucapku lirih.

"Kamu udah coba istikharah belum?" tanya Irene. Aku menggeleng. "Coba kamu istikharah dulu deh, Ndri. Minta petunjuk sama Allah. Kalo bisa sih kamu tikung aja tuh si Izan di sepertiga malam." Selorohnya sambil menaik turunkan alisnya dengan pandangan jahil.

Aku reflek menabok lengannya mendengar candaannya yang seperti itu. Dan dia meringis sambil tertawa terbahak-bahak. Aku tak habis pikir, bisa-bisanya dia nyuruh aku nikung buat dapetin suami orang. Sama aja dia nyuruh aku jadi pelakor. Emang agak ges-rek otak dia tuh kadang-kadang.

Tapi akhirnya suasana yang tadinya sedih-sedihan malah jadi lucu.

"Tapi aku serius, Ndri! Siapa yang tahu jodoh seseorang. Kamu aja kan bisa pisah sama suami kamu, padahal aku liat tuh, kalian cocok banget. Couple goals banget lah. Tapi kan Allah yang tetep menentukan takdir kita. Doa siapa yang bisa sampai tembus ke langit dan langsung Allah kabulkan. Allah Kuasa, Kita gak Kuasa. Jodoh, umur, rejeki, dan nasib seseorang itu gak ada yang tau kecuali Allah, Ndri! Kamu bisa meminta yang terbaik dari Allah untuk diberikan jodoh,“ kata Irene dengan panjang lebar. Kali ini dia bicara dengan tatapan serius.

Apakah aku harus seperti itu juga? Apakah aku harus melangitkan doaku agar aku mendapat kesempatan untuk bahagia?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status