Share

#8. Di Kantor Marcus

“Marcus! Kenapa pukul segini kau masih belum ada di kantor?! Jangan lupa kau harus menjamu Tuan Richard Ng dari Macao sebelum makan siang!”

Itu bukan suara gagak, ataupun omelan ibu mertua. Itu suara Kevin Lau, wakil CEO Wong Enterprise. Kevin menelepon Marcus saat mobil Marcus masih di tengah jalan.

“Bibi Susan bilang semalam kau tidak pulang dan Hana bilang kau sempat ditahan polisi! Apa yang sebenarnya terjadi?! Kenapa aku selalu jadi orang terakhir yang tahu?!”

Karena audio ponsel Marcus disambungkan ke perangkat audio mobil, Cecilia dapat menyimak omelan Kevin.

“Sebentar lagi aku sampai di kantor,” sahut Marcus. “Suruh Hana menyiapkan pakaianku.”

“Heeei, kau belum menjawab pertanyaan—”

Tap. Marcus menekan sebuah tombol di setir dan memutus sambungan. Pria itu menghela napas berat.

Saat itu gedung pencakar langit yang dia tuju sudah tampak seratus meter di hadapan. Cecilia melirik Marcus. Cecilia merasa tidak nyaman karena Marcus membawanya ke kantor, tapi tak ada yang dapat dia katakan.

Mobil Marcus pun berbelok memasuki area parkir. Usai memarkir mobil, Marcus kembali mengenakan jasnya serta mengencangkan dasinya yang longgar. Marcus turun lebih dulu dan membukakan pintu untuk Cecilia.

“A-aku tunggu di mobil saja—”

Tanpa menghiraukan permintaan Cecilia, Marcus menyambar tangan Cecilia, dan nyaris menyeret Cecilia supaya mengikutinya.

Saat Marcus dan Cecilia melewati lobi dan berjalan tergesa menuju lift, berpasang-pasang mata menatap mereka dengan tatapan heran. Gosip dengan cepat menyebar, CEO Wong Enterprise itu merangkul seorang perempuan tidak dikenal yang tampak lusuh dan berantakan.

Cecilia mengulur rambut panjangnya ke depan menutupi wajah. Ketika dia masuk lift, orang-orang di sebelahnya berbisik-bisik mengeluh dan menutup hidung karena bau tidak sedap alkohol terendus dari tubuh perempuan itu.

Marcus dan Cecilia naik ke lantai 63. Begitu pintu lift terbuka, Hana langsung menyambut Marcus.

Di lantai itu hanya ada dua ruangan, dibelah satu koridor.

Ruangan barat adalah ruangan Marcus, yang di timur ruangan Kevin. Meja sekretaris Marcus dan Kevin berada di ujung koridor, di bawah lambang Wong Enterprise yang terbuat dari kuningan dan bersinar megah.

Marcus pun masuk ke dalam ruangannya bersama Cecilia.

Marcus berseru pada Hana, “Panggil dua penjaga, awasi Nona Song!”

“Baik, Tuan!”

Di dalam ruangan Marcus, Cecilia semakin menyadari bahwa Marcus bukanlah laki-laki biasa. Ruangan berdinding panel hitam itu dua kali lebih luas daripada klinik ayah Cecilia.

Ruang kerja Marcus seperti penthouse yang dilengkapi ruang tamu dan bar, bilik tidur, juga kamar mandi. Ruang tamunya saja bagaikan galeri yang dihiasi lukisan dan karya seni kontemporer.

Sementara Marcus ganti pakaian di kamar mandi, Kevin masuk ke ruangan itu. Kevin melihat Cecilia dan tertegun.

“Siapa dia?” Kevin berbisik pada Hana.

“Nona Song,” jawab Hana.

“Si pelacur buta?” gumam Kevin heran. “Kenapa di sini?”

Dari tempatnya berdiri, Cecilia dapat mendengar gumaman Kevin.

Setelah mendapat banyak cemooh di lift karena penampilan yang lusuh dan bau yang menjijikkan, sekarang Cecilia dengar dirinya disebut pelacur oleh rekan kerja Marcus.

Mendadak Cecilia ingat bahwa kemarin tunangan Marcus memukulinya, lalu tadi pagi polisi yang membelanya malah dimarahi atasan karena menangkap Marcus.

‘Sial …’ umpat Cecilia dalam hati. ‘Dosa besar apa yang sudah kulakukan di kehidupanku sebelumnya hingga aku harus menerima semua penghinaan ini?’

Marcus keluar dari kamar mandi, rapi dan wangi.

“Hana, beli pakaian untuk Nona Song,” perintah Marcus. “Dia akan makan malam denganku.”

“Ya, Tuan.”

Di ambang pintu, Marcus berhenti sejenak, lantas dia berkata pada Cecilia.

“Jangan coba-coba kabur, Cecilia.”

“Nona.” Hana mendekati Cecilia setelah bosnya meninggalkan ruangan. “Mari saya tuntun Anda menggunakan kamar mandi.”

‘Ah, ya, aku harus kembali pura-pura buta …’ pikir Cecilia.

Hana memegang lengan Cecilia, kemudian dengan hati-hati membimbing Cecilia ke kamar mandi. Hana menjelaskan letak barang-barang di kamar mandi itu. Sikap lembut sekretaris Marcus tersebut membuat Cecilia terharu.

“Sejujurnya, adik saya tuna netra,” kata Hana sambil mengecek suhu air shower untuk Cecilia mandi. “Adik saya memilih hidup mandiri walaupun tak bisa melihat, dan mungkin Nona juga demikian.”

“Terima kasih …” ucap Cecilia sambil menahan air mata. Ini hari yang berat. Kelembutan seseorang sungguh berarti bagi Cecilia.

“Saya akan menunggu Nona di depan pintu. Berteriaklah kalau Nona perlu bantuan.”

Setelah Hana menutup pintu, tangis Cecilia pun pecah.

Cecilia tidak ingin mengasihani diri. Namun, Cecilia benar-benar lelah. Dia ingin menyerah.

Cecilia teringat masa kecilnya bersama sang ayah, sebelum Angel merusak hidup mereka.

Cecilia memang jarang bertemu ayahnya karena sang ayah sibuk mencari nafkah. Sebelum memiliki klinik sendiri, Chris bekerja di Thailand dan hanya pulang setengah tahun sekali.

Cecilia yang telah ditinggalkan ibunya sejak berusia 5 tahun pun seringkali dilanda kesepian. Tetapi, apabila Chris pulang, dia selalu membawakan putrinya berkotak-kotak oleh-oleh.

Akhirnya, ketika Cecilia berusia 9 tahun, Chris punya klinik sendiri di tanah air. Walaupun masih sibuk, Chris mencurahkan perhatian pada putrinya.

Meski sebenarnya Chris sangat lelah sepulang bekerja, Chris selalu menyempatkan diri bermain sebentar dengan Cecilia. Atau membacakan Cecilia buku dongeng pengantar tidur.

Entah kenapa hari ini Cecilia sangat merindukan ayahnya, lebih daripada hari-hari sebelumnya.

Saat ini hati Cecilia terusik keinginan untuk menyusul sang ayah.

“Ayah …” isak Cecilia. “Apa yang harus kulakukan …?”

Setengah jam lebih Cecilia berada di kamar mandi untuk menenangkan diri. Setelah menangis sepuasnya, dia membersihkan diri. Begitu Cecilia muncul dari kamar mandi, Hana sudah menyiapkan beberapa potong gaun serta beberapa pasang sepatu baru untuknya.

“Tuan memerintahkan saya mendandani Nona,” kata Hana seraya menuntun Cecilia menuju sofa.

“Oh … baiklah … mohon bantuan Anda …” sahut Cecilia gugup.

“Saya bukan ahli rias, tapi akan saya upayakan sebaik mungkin.”

Pukul setengah tiga sore, pertemuan Marcus dan Tuan Ng pemilik resor di Macao berakhir.

Marcus pun kembali ke ruangannya. Dilihatnya Cecilia terlelap dalam posisi duduk bersandar di sofa.

Sekali lagi kecantikan Cecilia mengejutkan Marcus sampai pria itu mematung cukup lama.

“Aku ingin istirahat,” kata Marcus pada Hana. “Jangan masuk kecuali kau kupanggil.”

“Baik, Tuan,” jawab Hana sambil membungkuk, kemudian dia meninggalkan ruangan.

Marcus memandangi Cecilia dari ujung kepala sampai ujung kaki sambil melipat tangan. Perempuan itu bagaikan putri tidur yang anggun sekaligus seksi.

Untuk menutupi lebam di wajah Cecilia, Hana menggunakan riasan tebal, namun tidak membuat Cecilia seputih badut. Rambut panjangnya yang lebat bergelombang tergerai rapi sampai ke dada.

Cecilia mengenakan gaun velvet hitam pas badan. Sepatu hak tinggi yang Cecilia pakai membuat tungkai kakinya terlihat jenjang.

“Huh.” Marcus mendengus seraya mengangkat dagu Cecilia dengan ujung telunjuk. “Tak ada apapun yang istimewa dari dirimu, Nona. Kuakui kau cantik. Tapi mungkin cuma itu kelebihanmu.”

Marcus duduk di samping Cecilia, lalu membetulkan posisi kepala Cecilia agar bersandar di bahunya.

Marcus memejamkan mata dan tertidur. Entah berapa lama Marcus terlelap, yang pasti hari sudah gelap. Ketika matanya membuka, Cecilia tidak ada di sisinya.

Marcus tersentak berdiri. Dia melihat ke sekeliling. Cecilia tidak ditemukan di ruangan itu.

[Akhir Bab 8]

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status