Share

Malam Pertama Kita

Aku yakin, mukaku sekarang pasti sudah memerah seperti kepiting rebus.  Rasa malu yang aku rasakan, menjalar begitu cepat ke sekujur tubuh. Mukaku panas, dan kakiku mendadak terasa lemas, lumpuh seketika.

Aku menyeka ujung mataku dengan ibu jari. Ya ampun, aku nangis saking malunya. Kalau Tuhan kasih aku satu permintaan, tentu saja aku ingin Tuhan menghapus ingatan Pak Bima saat ini juga, biarin deh Pak Bima hilang ingatan sampe dia kakek-kakek nanti. Aduh, tapi kalau Pak Bima amnesia, nasibku nanti gimana dong?

Kepalaku sebelah kiri tiba-tiba berdenyut kencang. Ternyata semakin dipikirkan, justru membuat kedua kakiku menjadi semakin lemas. Badanku ambruk seketika.

"Kiara, kenapa? Kamu jatuh?" suara Pak Bima terdengar sangat jelas di telingaku. 

"Eng-enggak, Pak. Saya baik-baik saja," jawabku dengan suara yang agak bergetar. Udara di dalam kamar mandi ini sebenarnya panas, tapi tubuhku merinding, menggigil hebat seperti orang yang sedang demam. 

"Yakin? Masalahnya telinga saya menangkap suara orang jatuh dari dalam sana," jelasnya.

"Hmmm ... Anu Pak, tadi rak sabun yang tergantung di samping wastafel jatuh." Tentu saja aku berbohong. Aku tidak ingin Pak Bima tau kalau saat ini aku sedang duduk meringkuk menahan malu.

Aku melihat tangan dan juga kakiku. Kemudian aku membuka kebaya yang kancingnya sudah dilepas oleh Pak Bima. Dari apa yang bisa dijangkau oleh penglihatanku, tidak ada bekas cacar air yang menempel disana. Tapi, kenapa tidak dengan punggungku. Aku meraba punggungku pelan, mencoba menemukan bekas cacar air yang Pak Bima maksud dengan koreng. Dan ketika telunjukku merasakan ada tekstur kasar di punggung, aku segera berdiri dan mencoba untuk melihat wujudnya dari pantulan kaca.

"Hih!" gumamku pelan, "Gara-gara bekas cacar air ini, aku jadi melakukan hal bodoh di depan Pak Bima," sesalku kemudian.

"Tapi, kenapa Pak Bima punya mata sejeli itu ya, aku aja enggak pernah tau ada bekas cacar air di sini," gumamku.

"Eh tapi ya jelas sih aku enggak tau, kan bekasnya ada di punggung. Kalau Pak Bima enggak bantu bukain kancing kebaya juga gak bakalan tau," batinku.

Yaahhh, aku teringat lagi dengan kejadian memalukan itu. Bu, nasib Putri sulungmu begini amat sih. Nikah di usia yang sudah terbilang tua, dapat suami ajaib kaya Pak Bima lagi. Boleh enggak sih pinjem alat milik Doraemon? Setidaknya kalau boleh aku pengen muter waktu, atau paling tidak mengubah takdir yang saat ini terjadi padaku.

"Kiara, kamu enggak apa-apa, kan?" Pak Bima bertanya lagi, "Sudah hampir sejam loh kamu ada di dalam sana. Tapi, aku gak denger pergerakan apapun dari kamu. Kamu beneran jatuh ya?" imbuhnya.

Aku enggak sadar, ternyata aku sudah membuang waktu selama satu jam hanya untuk merenungi kejadian yang gak penting seperti ini.

"Eng-enggak Pak, saya baik-baik aja di dalam," jawabku terbata. 

"Kok lama banget?" tanyanya menyelidik. Suara Pak Bima membuat badanku yang sudah tenang menjadi gemetaran lagi, entah karena malu atau enggak bisa membayangkan jika nanti dia meminta haknya sebagai seorang suami.

"Anu Pak ... Ini anu ... Eh maksudnya saya ..." Hish kok malah jadi gagap gini sih, bingung mau jawab apa. 

Pak Bima mengetuk pintu kamar mandi yang masih terkunci rapat. Dia terus menggaungkan namaku sambil mengetuk pintu tanpa henti.

"Ki, kamu beneran enggak kenapa-kenapa, kan?" Dia mulai panik. Panik? Untuk apa dia panik atas keadaanku?

Karena hatiku semakin gak karuan dan pikiranku melayang kemana-mana, aku memilih untuk diam. Ketukan pintu dari luar semakin lama semakin cepat frekuensinya.

"Hei, kok diam? Ki ... Kiara." Ketukan Pak Bima kini berubah menjadi gedoran. Ya Tuhan, bagaimana ini? Aku belum siap jika harus bertemu dengan Pak Bima.

Brak!

"Kyaaaaaaaaaaaa ..." Aku berteriak seiring dengan jebolnya pintu yang di dobrak oleh Pak Bima.

"PAK BIMMMAAAAA, ASTAGA!" teriakanku semakin kencang ketika wajah Pak Bima terlihat di ambang pintu. Aku sontak menutupi kedua aset berhargaku dengan kedua tanganku. Memang saat ini tubuhku tidak tertutupi oleh sehelai benangpun, sehingga aku yakin kedua tangan ini tidak bisa menjangkau seluruh bagian yang ingin ku tutupi.

"YA TUHAN, KELUAR PAK KELUAR! BAPAK NGAPAIN DI SANA NGLIATIN SAYA, ASTAGA PAK BIMA" Napasku menderu. Dadaku bergetar hebat, jantungku jempalitan dan hawa dingin langsung memeluk tubuhku tanpa permisi.

Jika tadi dia mempermalukanku dengan bekas cacar air, kini dia mendobrak pintu kamar mandi kemudian melihatku telanjang bulat seperti saat ini. Dasar, manusia ajaib! Ngeselinnya gak ada obat.

Pak Bima memutar badannya kemudian meninggalkan aku yang masih shock. Aku langsung mengguyur badanku untuk mengurangi getaran yang belum pernah aku rasakan sebelumnya. Aku celingukan memperhatikan pintu kamar mandi, takut jika Pak Bima muncul dan melihat aku yang sedang menggosokkan sabun ke seluruh tubuh.

Ya Tuhan, jika manusia serakah itu ada di dunia, maka akulah orangnya. Setelah tadi aku minta ingatan Pak Bima dihapus, dan nasibku diperbaharui, maka kali ini aku minta aku yang hilang ingatan. Aku kembali menangis mengingat wajah Pak Bima yang tertegun karena melihatku tanpa busana. Matanya yang membulat, alasnya yang terangkay, dan bibirnya yang terbuka membuatku malu, sangat-sangat malu. Jika membenturkan kepala ke tembok adalah solusi, maka akan kulakukan saat ini juga.

Aku mengendap-endap ke luar dari kamar mandi, dengan baju ganti yang sebelumnya sudah aku ambil dari dalam almari, kaos berwarna putih dan celana hijau lumut. Pak Bima duduk di atas kasur sambil memainkan MacBook miliknya, entah apa yang sedang dia kerjakan. Mukanya serius sekali. Aku menghela napas lega, syukurlah dia sibuk, jadi pasti lupa dengan kejadian dobrak mendobrak pintu kamar mandi.

Dengan bantuan hairdryer, aku mencoba untuk mengeringkan rambutku di depan meja rias. Suara bising dari alat ini membuat Pak Bima melirik ke arahku. Aku mematikan Hairdryer meski rambutku belum kering. 

Aku beranjak dari kursi kemudian berniat untuk turun ke bawah memasak makan malam. Perutku keroncongan, lapar sekali rasanya. Sambil berjalan, aku berpikir harus dimana aku tidur. Kasurku sempit, hanya berukuran 120x200 cm. Sedangkan, tidak mungkin aku meminta Pak Bima untuk tidur di kamar tamu. Masa iya aku tidur di lantai beralaskan tikar?

"Ki ... Mau kemana?" tanyanya. Suaranya berat dan sedikit serak, terdengar sangat seksi sekali. Bulu kudukku meremang, aku takut jika saat ini juga dia mengajakku untuk melakukan hal yang biasanya dilakukan oleh pasangan suami istri setelah mereka menikah.

"Apa?" jawabku ketus.

"Sini." Dia menepuk-nepuk kasur yang saat itu sedang dia duduki. 

Aku memegang wajahku, tanpa make up dan tubuhku juga tidak ku semproti parfum. Aku sama sekali tidak menyiapkan apapun untuk malam ini, bahkan baju yang kukenakan pun warnanya seperti lontong tanpa sate.

"Bapak yang kesini, kan Bapak yang butuh," ucapku asal. Pak Bima beranjak dari kasur. Pakaiannya juga sudah ganti, kali ini dia memakai piyama berwarna biru tua, sangat kontras dengan kulitnya yang berwarna kuning Langsat. Wangi maskulin dari tubuh Pak Bima, menyeruak masuk ke dalam hidungku. Aku memejamkan mata pelan, menelaah wangi parfum yang sedang menari di dalam lubang hidungku.

"Ki ..." panggilnya lagi.

Mataku terbuka, Pak Bima sudah ada tepat di depanku. Jantungku sudah mulai berlompatan, perutku tiba-tiba terasa mulas. Apakah orang yang akan melakukan malam pertama, harus merasakan kesakitan seperti ini?

"Apa Pak?" Aku melengos.

Dia membelai rambutku.

"Jangan pegang-pegang. Nanti jadi kebiasaan!" Kilahku.

"Kamu mandinya bersih enggak, sih?" tanyanya polos.

"Bersih lah, emang Bapak sudah semalam ini belum juga mandi," sunggutku.

"Kok, rambutmu masih berbusa? Enggak bersih ya bilasnya?" 

Aku meraba ujung kepalaku, dan benar saja rambut atasku masih terasa sangat lengket.

"Kan, dah kebelet pengen ehem-ehem ya sama saya?" godanya.

"PAK BIMAAAA!" Aku berlari masuk lagi ke kamar mandi.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status