Bab 5 Sikap Dingin Suamiku
Entah mengapa, sikap yang ditunjukkan Mas Alvin tersebut membuatku merasa ia agak berbeda. Walaupun aku tahu suamiku itu adalah tipikal orang yang tidak mudah marah dan lebih sering pengertian terhadap orang-orang di sekitarnya. Termasuk aku.
Akan tetapi sikapnya kali ini yang mendadak dingin itu membuatku curiga padanya. Aku merasa ada sesutau yang sedang disembuyikan suamiku itu sehingga ia bersikap demikian setelah ia menuruti permintaanku.***
Malam pun datang. Dan waktu sudah hampir mendekati tengah malam, namun, aku tak kunjung mendapati kepulangan dari Mas Alvin. Kemana suamiku itu pergi? Mungkinkah ia kecewa denganku yang meminta padanya membatalkan rencana bulan madu kami? Yang mana juga membuatnya bersikap dingin padaku sebelum keberangkatannya ke kantor tadi pagi.
"Astagaaa .... " Ku usap wajahku dengan agak kasar. Mencoba menyadarkan diriku untuk tidak begitu memedulikan Mas Alvin. Sebab bagaimanapun juga aku menikah dengannya bukan atas dasar cinta. Melainkan karena adanya tujuan lain.
Untuk mengusir rasa kegelisahanku karena Mas Alvin yang tak kunjung pulang, aku lantas memutuskan untuk segera tidur. Ku biarkan ia yang entah pulang kapan atau bahkan tidak akan pulang. Aku berusaha tidak akan memedulikannya.
Sayangnya, tak lama setelah aku memejamkan mataku, tiba-tiba saja ponselku yang berada di atas nakas dekat ranjang berdering. Awalnya aku berpikir itu Mas Alvin yang akan mengabari keberadaannya sehingga aku memilih untuk membiarkan benda pipih itu terus berbunyi sedangkan aku tetap di posisiku. Namun ternyata perkiraanku salah lantaran ponselku itu terus saja berdering berulang kali.
Dan ketika aku melihat siapa nama yang berada di layar ponselku membuatku merasa keheranan. Mas Bima. Ya, Mas Bima lah yang menghubungiku berulang kali di malam itu.
"Iya, Mas? Ada apa?" tanyaku sesaat setelah ku angkat panggilan tersebut.
"Alvin ada di rumah, kan?" aku terheran mendengar pertanyaan dari Mas Bima. Untuk apa ia bertanya demikian?
"Dia belum pulang, Mas. Ada apa, sih?" tanyaku penasaran.
"Sekarang ini aku gak sengaja lihat orang yang mirip Alvin di sini. Awalnya aku pikir orang itu bukan suamimu. Tapi sekarang aku curiga kalau orang yang aku lihat itu mungkin memang Alvin," kata Mas Bima. Aku mengernyit tak mengerti.
"Terus hubungannya apa?" tanyaku.
"Aku akan selidiki lebih lanjut apakah orang itu suamimu atau bukan. Kalau orang itu Alvin, patut dicurigai. Tapi kalau bukan, ya sudah. Makanya sekarang aku minta tolong ke kamu hubungi Alvin dan tanyakan keberadaannya. Setelah itu kabari aku."
Meski masih belum seratus persen mengerti aku pun mengiyakan permintaan kakak sepupuku itu. Mas Bima menutup panggipan teleponnya dan aku segera menghubungi Mas Alvin dengan perasaan sedikit malas.
Beruntung hanya satu kali melakukan panggilan, Mas Alvin langsung meresponnya. Sesuai permintaan Mas Bima aku pun bertanya keberadaan suamiku itu dan ditambah berpura-pura khawatir padanya.
"Kamu dimana, Mas? Kok, jam segini belum pulang. Aku khawatir," ucapku.
"Maaf, ada urusan mendadak yang harus segera aku selesaikan. Kamu tidur duluan, ya karena malam ini aku tidak pulang."
"Iya, tapi sekarang kamu di mana?"
"Aku di rumah mama. Sudah, ya. Selamat tidur dan jangan lupa berdoa. Assalamualaikum." Mas Alvin menutup panggilan teleponnya.
Setelah melakukan panggilan dengan Mas Alvin barusan, sejujurnya aku merasa heran dengan jawaban singkat yang diberikan suamiku itu Seolah ia sedang tidak ingin diganggu. Mungkinkah benar kalau saat ini Mas Alvin merasa kecewa padaku sehingga ia bersikap demikian? Kalau benar demikian, bukankah itu terlalu kekanak-kanakan? Mengingat yang aku tahu Mas Alvin selama ini adalah orang yang kerap bersikap dewasa dan bijak. Namun jika benar ia tak pulang karena sedang ada urusan, lantas urusan apa yang sampai membuatnya harus menginap di rumah mamanya?
Namun, karena tak mau terlalu ambil pusing aku lantas mengabarkan keberadaan Mas Alvin kepada Mas Bima sesuai permintaannya tadi. Ku hiraukan alasan ketidak pulangan Mas Alvin dan aku pun melanjutkan tidurku.
***
Hari berganti. Pagi itu setelah menunaikan sholat subuh aku kembali mendapatkan kabar dari Mas Bima. Dimana kakak sepupuku itu mengabarkan jika laki-laki yang ia duga Mas Alvin tadi malam memang benar suamiku. Namun, yang membuat Mas Bima bertanya-tanya ada urusan apa yang membuat Mas Alvin harus datang ke rumah masa kecil mama nya. Rumah yang sebelumnya di datangi oleh Mas Bima untuk mengulik informasi mengenai rumor pernikahan siri antara bapakku dan Bu Mirna.
Mendapati kabar demikian seketika membuatku terkejut sekaligus bertanya-tanya sama seperti yang Mas Bima rasakan.
Pagi itu aku betul-betul dibuat berpikir tentang Mas Alvin. Sampai-sampai dugaan demi dugaan pun bersarang di pikiranku. Mungkinkah Mas Alvin tahu jika selama ini aku dan Mas Bima menyelidiki mama nya? Sehingga Mas Alvin mencoba menghilangkan barang bukti yang kemungkinkan bisa membawa Bu Mirna ke penjara?
"Gak mungkin. Gak mungkin Mas Alvin tau soal ini." Aku menyakinkan diriku jika Mas Alvin pasti tak tahu menahu tentang penyelidikan ini. Aku juga mewajarkan diriku sendiri soal kedatangannya ke kampung halaman orang tuanya itu. Mungkin saja ia menengok saudaranya yang kata Mas Bima ada beberapa kerabatnya yang masih tinggal di sana.
"Ya, pasti gak mungkin tau," kataku pada diriku sendiri.
Untuk lebih menyakinkan diriku lagi, aku pun mencoba menghubungi Mas Alvin dan berpura-pura akan menyusul ke rumah mamanya. Jika Mas Alvin menolak, artinya memang ia sedang berada di kampung tempat kelahiran mama nya yang memang terletak cukup jauh dari kota. Jika demikian aku pun bisa menanyakan perihal dugaan-dugaanku sebelumnya. Atau bisa jadi kecurigaanku memang benar adanya. Namun sebaliknya, jika Mas Alvin tidak menolak, mungkin saja Mas Bima salah melihat orang dan Mas Alvin sendiri memang tengah berada di rumah mama nya yang masih satu kompleks dengan rumah yang aku tempati sekarang.
Bab 6 Udang Di Balik Batu? "Ya, pasti gak mungkin tau," kataku pada diriku sendiri. Untuk lebih menyakinkan diriku lagi, aku pun mencoba menghubungi Mas Alvin dan berpura-pura akan menyusul ke rumah mamanya. Jika Mas Alvin menolak, artinya memang ia sedang berada di kampung tempat kelahiran mama nya yang memang terletak cukup jauh dari kota. Jika demikian aku pun bisa menanyakan perihal dugaan-dugaanku sebelumnya. Atau bisa jadi kecurigaanku memang benar adanya. Namun sebaliknya, jika Mas Alvin tidak menolak, mungkin saja Mas Bima salah melihat orang dan Mas Alvin sendiri memang tengah berada di rumah mama nya yang masih satu kompleks dengan rumah yang aku tempati sekarang. Aku pun bergegas meraih ponselku dan segera menghubungi Mas Alvin. "Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif!"Ah, sial! Baru satu kali melakukan panggilan, rupanya nomor suamiku sedang tidak aktif. Tentu saja hal ini malah membuatku curiga padanya. Alhasil aku pun melaporkan hal ini pada Mas Bima. Sayangnya, pa
Bab 7 Memulai Rencana"Alvin nginep di sini. Maafin dia, ya, kalau malah buat kamu khawatir. Besok lagi Mama suruh dia pulang sekalipun itu tengah malam, hujan deras lagi," kata Bu Mirna sambil terkekeh.Aku tersenyum dan mengiyakan perkataan ibu mertuaku yang mana aku merasa janggal. Benar-benar terasa aneh pokoknya. Apalagi hal itu adalah sesuatu yang langka yang malah membuatku curiga dengan sikap Bu Mirna barusan. Namun, bukan hanya sikap Bu Mirna yang patut aku curigai, akan tetapi sikap dari Dewi yang juga ikut sarapan bersama saat itu, dimana ia sesekali menatapku dengan tatapan tak suka. Dimana karena hal tersebut lah lantas membuatku merasa ada udang di balik batu di acara keluarga pagi ini. Jika benar demikian, lalu apa tujuannya Bu Mirna yang secara tiba-tiba ini mengajakku untuk sarapan bersamanya?Acara sarapan bersama pun usai. Tak ada hal apapun yang membuatku lebih curiga pada Bu Mirna. Sebab
Bab 8 Berita Yang Tersebar Di Media"Iya, Mbak. Saya mengerti."Setelah meraih flashdisk tersebut, Arga pun segera menyimpannya dan menyelesaikan pekerjaannya. Barulah beberapa saat kemudian Arga pamit dan pergi meninggalkanku."Saya permisi, Mbak," pamit Arga.Aku mengangguk kecil tanda mengiyakan kepergian Arga. Dan di saat Arga mulai melangkahkan kakinya, di momen itu lah aku tersenyum menyerigai dengan tatapan tajam ke depan. Membayangkan keberhasilanku dalam membalaskan rasa sakitku terhadap Bu Mirna.***Arga memang luar biasa. Wartawan kenalan Mas Bima itu sangatlah membuatku puas dengan pekerjaannya yang padahal baru kemarin aku memintanya. Dan hari ini aku sudah menuai hasilnya.
Bab 9 Percakapan Yang Didengar"Mas?" panggilku. Mas Alvin tersentak dan reflek kembali menoleh sebentar ke arahku. Mas Alvin menggelengkan pelan kepalanya dan berkata," aku gak tau sayang."Mendengar jawaban dari suamiku barusan tentu aku tak mempercayainya begitu saja. Aku yakin karena Mas ALvin adalah anak kandungnya Bu Mirna pasti ia akan ikut terlibat dalam kasus ini. Atau setidaknya dia tahu dan memilih merahasiakannya dari siapapun. Termasuk aku. Setelah menyelesaikan sarapannya, Mas Alvin lantas pamit untuk pergi ke kantor. Ia berniat berangkat lebih awal lantaran ingin memastikan keadaan tempat kerjanya baik-baik saja. Mengingat saat ini ibu nya masih menjadi pimpinan dari kantornya tersebut. Tentu saja sebelum meninggalkan rumah ibu nya, suamiku itu lebih dulu memulangkanku ke rumah kami. Tak lupa memberikan kecupan hangat di keningku dan memintaku mencium takzim tangan kanannya. Aktivitas pagi yang biasa kami lakukan sebelum
Bab 10 Menuduhku?"Ma–maaf, Bu," ucap Bi Inah terbata-bata seraya menundukkan wajahnya seolah tak berani menatapku."Bi Inah dengar semua yang saya obrolkan dengan Mas Bima tadi?" selidik ku.Mendengar pertanyaan ku barusan, saat itu Bi Inah tak langsung menjawabnya. Ia terdiam beberapa saat yang mana membuatku semakin penasaran. Ah, Bi Inah!"Bi!" tegur ku yang merasa tak sabaran."Wait, wait, wait!" Mas Bima berlari kecil mendekatiku dan Bu Inah."Ada apa, Mas?" tanyaku heran."Jangan terlalu kasar sama Bi Inah. Kasihan. Mungkin dia emang gak denger apa-apa," kata Mas Bima mencoba menengahi."Mas! Gak mungkin gak denger apa-apa. Bi Inah di sini, kita di sana," balasku seraya mengayunkan tangan menunjukkan jarak antara posisiku dan Mas Bima tadi dan Bi Inah yang hanya berjarak kurang dari sepuluh meter."Tapi Bibi emang gak denger apa-apa, Bu," sahut Bi Inah. Aku menoleh ke arahnya yang tampak masih ketakutan."Kalaupun emang Bibi denger apa-apa, tolong jaga rahasia ini, ya, Bi. Say
Bab 11 Ketika Perasaan Itu Muncul Kembali"Ma ...," ucap Mas Alvin seraya hendak menenangkan ibu nya kembali."Benar, Bu, tolong kendalikan emosi Ibu," ujar Dewi tenang. Membuatku dan lainnya menoleh ke arahnya sekaligus membuat Mas Alvin mengurungkan niatnya. Dewi pun sedikit melangkah lebih dekat dengan Bu Mirna. "Lebih baik sekarang kita fokus mencari siapa yang menyebarkan fitnah ini," ucap Dewi lagi seraya melirik sinis ke arahku seakan-akan ia menuduhku.Tak mau kalah. Aku pun menatap tajam ke arah Dewi sebagai tanda aku tidak takut dengan tuduhan yang secara tidak langsung ia layangkan padaku. Dan di momen ini lah aku mulai menyadari bahwa dari ucapan dan gerak gerik Dewi barusan menunjukkan kalau sekertaris ibu mertuaku itu amatlah berbahaya.Bu Mirna mengatur napasnya usai mendengar ucapan dari Dewi. Wanita paruh baya itu lantas mendudukkan tubuhnya ke sofa yang terletak tak jauh darinya. Melihat sikap Bu Mirna yang demikian sejujurnya membuatku sedikit merasa heran. Bu Mirna
Bab 12 Peristiwa Yang Tak Bisa Dihindari"Terima kasih, ya, sayang." Mas Alvin kembali mencium tanganku.Dan aku hanya bergeming mendapati perlakuan yang diberikan Mas Alvin seraya menatapnya dengan perasaan agak bersalah. Kebahagian yang ia tunjukkan malam ini sungguh membuat hatiku terasa perih. Perasaan tak tega lantaran telah membohonginya pun mulai muncul kembali. Apalagi ia menganggapku melakukan hal yang sama sekali aku tak menganggapnya serius. ***"Sayang?"Aku tercekat mendengar panggilan dari Mas Alvin yang tiba-tiba muncul dari balik pintu kamar. Saking terkejutnya aku bahkan mendadak bingung dan tak tahu harus bersikap bagaimana. Sedangkan itu Mas Alvin kini telah melangkahkan kakinya guna mendatangiku yang masih berada di tempat aku melaksanakan sholat subuh belum lama ini."Sudah sholatnya?" tanya Mas Alvin yang saat ini berada di hadapanku."Sudah, Mas," jawabku sambil memalingkan tubuhku dan membelakangi suamiku. Lalu melepas mukena yang sejak tadi masih ku kenakan d
Bab 13 Daftar Nama Para Polisi Yang Terlibat"Tapi aku antar, ya," kata Mas Alvin lagi. Membuatku yang tadinya bernapas lega kini malah merasa panik. Sebab, tak mungkin Mas Alvin hanya akan mengantarku begitu saja. Karena bagaimana pun suamiku itu juga termasuk teman dari Mas Bima. Apalagi hari ini adalah hari libur. Yang mana pastilah mereka akan melakukan obrolan yang nantinya akan merusak tujuan pertemuanku dengan kakak sepupu ku itu.Namun di sisi lain, aku juga tak bisa menolaknya karena aku tidak memiliki alasan untuk mencegah suamiku itu guna tetap berada di rumahnya ini. Akan tetapi, jika aku mengiyakan perkataan Mas Alvin, itu sama saja aku hanya membuang-buang waktu ku. Sedangkan berita yang di angkat oleh Arga, sekarang ini masih ramai dibicarakan di media sosial. Terlebih, pihak Bu Mirna sendiri pun juga sudah mulai bergerak yang artinya aku pun juga harus bertindak lebih cepat.Ah, sial! "Sayang?" panggil Mas Alvin yang membuyarkan lamunanku. "Iya, Mas?" "Itu ditanya B