Share

Getol

"Jangan lebai. Bukan mereka yang ngemaki, tapi satu orang cowok badan tinggi. Cuma dia doang, enggak banyak."

Ganes yang berdalih terus membantu Diana untuk menuju ke parkiran si Blacky. Namun, ia sempat terhenti saat tangan Diana mencengkeram bahunya erat, seolah-olah hendak membahas sesuatu yang lebih penting dari sebelumnya.

"Salahku karena tak berangkat sejak awal. Salahku karena harus merasa pesimis bahkan sebelum pergi audisi. Padahal, ini adalah kesempatan pertama setelah bertahun-tahun menahan diri karena merasa belum punya cukup bakat.

Apa dayaku, Nes. Bakat saja enggak cukup sekarang. Harus ada orang dalem, ada uang juga. Gimana aku bisa ngemulai semua dari nol kalo dari awal aja udah banyak tindak korupsi yang kalo ketahuan merekanya bilang itu enggak disadari?"

Sembari kembali memapah Diana, Ganes menggeleng dengan pelan. Diabaikannya tatapan lekat sang kawan yang sudah membersamainya sejak lama.

"Kamu itu ngomong apa? Jangan samaratakan semua pemimpin yang ada. Enggak semua pemimpin kayak yang kutemui tadi. Masih banyak juga kok, yang jujur cari orang yang berkemampuan tinggi tanpa pernah korupsi.

Mending, saat ini kamu fokus sama usahamu untuk memperdalam bakatmu sendiri. Kali aja, kamu bisa ikut audisi lagi suatu saat nanti. Seenggaknya kamu punya usaha untuk memantaskan diri."

Ganes telah membantu Diana untuk duduk pada jok belakang skuternya. Lantas dengan pelan, ia melajukan motor demi kembali ke rumah indekosnya.

"Aku berhutang banyak padamu, Nes. Aku punya hutang untuk memperbaiki Blakcy. Daripada memperdalam bakat akting, akan lebih baik kalau aku mencari pekerjaan demi ngemulusin si Blacky lagi," papar Diana sembari menunduk dalam-dalam. Ia merasa menyesal karena permintaannya, motor sang tetangga mengalami rusak berat.

"Enggak usah dipikirin. Tiga hari ngojek pun aku dah bisa bikin mulus si Blacky," pungkas Ganes dengan sombong. Ia telah mengagung-agungkan pekerjaannya sebagai ojek online dengan rating dan tips yang bagus.

"Enggak bisa gitu, Nes. Aku juga mesti tanggung jawab. Kalopun enggak bisa bayar langsung, bakal tak cicil, kok."

"Fokus sama kesehatanmu dululah. Jangan mikirin si Blacky. Lagian, bahu kanan kena dislokasi, pergelangan tangan dan kaki terkilir. Mau kerja apa dengan modal tangan kiri kamu?" tanya Ganes. Nada bicaranya dinaikkan beberapa oktaf demi bisa didengar oleh sang kawan yang duduk di jok belakang.

"Seenggaknya kan aku punya usaha, Nes! Jangan suka matahin apa yang kupinginin, lah. Tau sendiri aku gampang kepikiran. Tar malah pesimis jadinya. Harusnya kan kamu ngedukung!"

Ganes mencebik. Kedua bahunya mengedik. "Aku kemaren ada wawancara. Daripada mikir kerja, mending doain aku biar keterima. Lumayan kan, kalo tiga bulan lagi aku dapet yang gajinya dua kali lipat."

Mendengar celetukan Ganes, Diana mengernyit heran. Hampir saja ia kembali bertanya saat motor matik Ganes telah berhenti di depan rumah.

"Kamu orang baik, Nes. Semua yang kamu usahakan pasti bakalan dapet."

Ganes mengangguk. Ia telah menjentikkan jemarinya, lantas membantu sang kawan untuk turun dari motor.

"Karena itu, mumpung aku baik jadi jangan pikirkan apa pun. Aku bisa memperbaiki sendiri kerusakan Blacky. Pekerjaan keduaku sebagai driver ojek online juga punya income besar, Di. Jangan memandangku remeh hanya karena aku ngekos di tempat kumuh seperti ini," bujuk Ganes.

Ia bicara dengan sedikit nada pongah. Alih-alih menghibur Diana, ia malah sedikit menyombongkan diri demi membuat Diana tersenyum dan melupakan beban yang dipikirkan oleh sang kawan.

Melihat itu, Diana makin merasa bersalah. "Sumpah demi apa pun, aku sudah coba kirim surat lamaran ke banyak tempat. Anehnya, enggak ada satu pun yang mau nerima aku, Nes. Padahal, temen-temen yang naro surat lamaran bareng sudah ada panggilan. Kenapa ya, kira-kira?"

Pertanyaan Diana berhasil membuat Ganes turut mengernyit heran. Telah ia papah Diana untuk masuk rumah.

"Belum rezekimu. Mungkin sebenernya rezekimu ada di teater tadi. Tapi karena takdir, jadi mungkin belum rezeki. Mending diem di rumah, bantuin emak bikin pisang goreng."

Diana tak menjawab. Ia telah memilih duduk di sofa buluk berwarna cokelat tua dengan sudut yang dipenuhi robekan, dengan pelan.

"Emak pasti lagi kulakan pisang. Andai aku bisa kerja enak, bisa nyetir motor kayak kamu, mungkin emak enggak perlu keliling."

Tanpa malu, Ganes telah mendudukkan diri pada sofa seberang, sofa yang tak jauh berbeda keadaannya seperti yang diduduki Diana. Digaruknya pelipis dengan pelan sembari menatap sang kawan. Meski keduanya baru kenal setahun belakangan, mereka bak pinang dibelah dua.

"Apa iya karena kamu yang berhenti mendadak dari pabrik tempatmu kerja sebelumnya? Kamu nulis itu di CV, kan?" Ganes mencecar.

"Soalnya aku pernah tau sih, Di. Kalo personalia itu sering liat di bagian pengalaman itu. Mereka bakal ngitung bulan berjalan seberapa lama kita kerja. Apalagi yang baru sebulan, tapi udah ngelamar di tempat baru. Sudah pasti mereka bertanya-tanya, kan? Yang udah lama kerja pun, juga bakal dipertanyakan nantinya."

Diana mengangguk-angguk. Ia memang selalu menulis di mana ia diterima bekerja meski hanya beberapa minggu.

"Btw, kamu dapet panggilan di mana, Nes? Terus, gimana caranya kamu bakal ngebagi waktu buat kerja, buat ngojek segala? Katamu, ngojek is the best. Tapi kenapa tiba-tiba getol banget cari kerja? Ada yang ingin kamu beli? Atau, kamu mau pindah kost ke yang budgetnya lebih tinggi?"

Ganes menggeleng pelan. Ia yang sudah memilih menjadi sopir ojek online sejak tiga tahun belakangan, ingin mendapat uang lebih banyak karena biaya hidup yang terus naik secara signifikan.

"Daripada mikir buat pindah ke tempat yang punya budget tinggi, aku lebih milih nyimpen duit itu buat masa tua, Di. Aku ini sebatang kara, seenggaknya aku punya uang pas aku udah enggak produktif nanti. Lagian, kalo bukan aku yang ngusahain rencana masa depan, gimana aku bisa hidup dengan tenang di tengah kota penuh persaingan kek Surabaya ini?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status